Aku sedang berdiri di pinggir pantai. Kulihat airnya tampak berwarna biru dari kejauhan. Kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai sambil menendang-nendang pasir di pantai itu. entah kenapa rasanya begitu damai. Tiba-tiba terdapat kedua lengan dari seseorang memelukku begitu saja. Ia merangkulku dari belakang sambil berbisik, “Hana, aku sayang padamu.” Aku pun tersenyum lembut mendengarnya dan segera berbalik untuk melihat wajahnya. Tubuhnya tampak seperti seorang pria. Namun yang ku lihat wajahnya tertutup dengan silaunya sinar matahari. Kusipitkan mataku agar jelas melihat wajahnya. Hanya senyumannya saja yang terlihat. Saat aku hendak menyentuh wajahnya, tiba-tiba tubuhku tersentak dan kedua mataku terbuka lebar-lebar.
“Hanya mimpi?” kataku sambil duduk di pinggir kasur. Sepertinya aku terlalu memikirkan pertengkaranku dengan kak Haru semalam. Sampai aku bermimpi yang tidak-tidak. Siapa ya cowok yang ada di dalam mimpiku itu? Kenapa aku merasa nyaman bersamanya? Kulihat jam yang ada di atas meja. Sudah jam enam pagi. Aku segera beranjak untuk mandi. Seusai mandi, ku buka pintu kamar. Kulihat pintu kamar kak Haru masih tertutup rapat. Mungkin dia masih tidur. Biasanya hari minggu dia bangun agak siang. Mama pasti sudah berada di dapur. Aku pun menuruni tangga menuju dapur. Ternyata benar! Mama sedang memasak di dapur.
“Memasak apa nih, ma?” tanyaku sembari mencium aroma sedap yang berasal dari wajan. Mama hanya tersenyum saat ku peluk dari belakang. Beliau sedang menggoreng ikan.
“Baunya sedap kan? Ini namanya ikan mujaer. Tadi bibi Her memberikannya pada mama.”
Aku pun membantu mama menyiapkan nasi dan lauk-pauk di atas meja. Tidak lupa mama menyiapkan makanan untuk kak Haru. Mama memintaku untuk membawakannya ke atas. Aku hendak membawanya ke atas, namun ku urungkan. Aku meihat mama yang masih mencuci wajan dan piring kotor lainnya di wastafel. Kuletakkan nampan berisi makanan kak Haru di atas meja.
“Aku bantu mama cuci piring dulu ya,” kataku sembari mengambil piring yang sudah dibersihkan dengan sabun oleh mama. Kusadari mama melihatku dengan heran.
“Biasanya kamu paling bersemangat kalau soal kak Haru. Kenapa sekarang ogah-ogahan mengantar makanan padanya?”
“Mmm.. nanti saja. Setelah aku mencuci piring. Lagipula kak Haru sudah besar, ngapain pakai diantar makanan segala.”
“Hmmm, sepertinya kalian masih bertengkar ya?” tebakan mama membuatku berhenti membilas piring. Aku ingin menceritakan pada mama tentang kejadian kemarin. Tetapi terlalu memalukan untuk menceritakannya. Bagaimana aku bisa cerita kalau kak Haru tiba-tiba saja memelukku dan menyuruhku untuk menjauhi Zeno? Yang ada nanti papa akan memarahinya lagi. Aku tidak ingin dianggap sebagai pengadu lagi. “Kalau itu yang terjadi, itu sesuatu yang lumrah kok. Saudara selalu bertengkar dan saling menyayangi. Itu wajar kok, Hana.”