Sepanjang di rumah kuhabiskan waktu saling mengirim kabar dengan Yumi-chan melalui email. Dia juga tidak menyangka dan turut bersedih atas kejadian yang menimpa diriku. Kami pun melakukan video call dan saling melepas kangen. Yumi mengatakan bahwa dia ingin sekali menemuiku disini dan memelukku erat. Yumi, kamu tidak berubah. Kamu tetaplah Yumi-chan yang aku kenal. Kamu lah teman pertamaku yang selalu mendukungku di kala susah dan senang. Aku bahagia sekali sudah mengenalmu dan menjadi temanmu. Selamanya kita akan tetap mendukung satu sama lain ya.
Pada akhirnya hari itu tiba juga. Hari dimana diriku kembali ke sekolah yang ku cintai. Tidak hanya sekolah saja. Aku juga begitu merindukan sosok teman-teman di sekolah. Terutama Zuna, Reta, dan Kusniyah. Tetapi apa daya mungkin aku tidak bisa mengobrol lagi atau bahkan merangkul salah satu sahabatku itu, Zuna. Benar tebakanku. Orang tua ku dan kak Haru sudah lama menyembunyikan hal itu cukup lama. Aku malah mengetahuinya secara langsung melalui kak Zeno. Bagaimanapun juga Zuna itu teman terdekatku. Aku tidak tahan jika harus sengaja menghindarinya.
Sebelum berangkat ke sekolah, mama memberikan pesan padaku untuk tidak lagi memiliki hubungan dengan Zuna. Seperti yang Zeno katakan sebelumnya, kedua orang tua ku dan Zuna telah menandatangani surat perjanjian hitam di atas putih yang berisikan tidak adanya lagi kontak antara pelaku dengan korban. Menurut papa itu adalah jalan terbaik untuk kami berdua. Bukan. Menurutku itu hanyalah diperuntukkan sebagai jalan terbaik untukku.
“Hana,” aku pun tersadar dari lamunanku. Aku baru menyadari kendaraan yang ku kendarai dengan kak Haru sudah sampai di parkiran sekolah. Dengan segera aku turun dari motor. Tak kusangka Kusniyah dan Reta sudah berada disampingku. Mereka berdua menyambutku dengan senyum merekah.
“Selamat datang kembali, Hana.”
“Duh, Reta, Kusniyah. Buat aku kaget saja.”
“Yee.. siapa suruh ngelamun ajah dari tadi. Haru sampai manggil kamu lima kali loh!” seru Reta sembari menunjukkan kelima jarinya di depan wajahku. Aih, Reta. Konyol seperti biasanya. “Kamu sudah bisa jalan kan, Han? Apa perlu aku papah sampai di kelas?”
Ku gelengkan kepala dengan mantap.
“Makasih, Ta. Tapi aku benar-benar sudah bisa jalan sendiri kok. Tubuhku sudah pulih kembali. Makanya hari ini aku kembali ke sekolah.”
“Oh ya, Han. Kamu masuk dulu dengan mereka ya. Aku ada urusan sebentar,” tanpa mendengar apa yang ingin ku katakan, kak Haru sudah bergegas pergi. Reta menggandeng lengan kanan ku dan Kusniyah menggandeng lengan kiri ku. Kami pun berjalan beriringan.
“Han, rambutmu kok berwarna hitam? Bukannya biasanya warnanya abu-abu ya?” tanya Kusniyah. Punggung Kusniyah langsung digeplak Reta. Aku tahu tatapan Reta mengatakan bahwa Kusniyah tidak harus bertanya hal yang sensitif seperti tentang rambutku ini. Aku pun tertawa kecil.
“Tidak apa-apa kok, Reta. Jadi begini, kemarin aku meminta kak Haru untuk mengecat rambutku. Aku hanya ingin suasana baru saja. Ingin juga sih sebenarnya bagaimana pandangan orang-orang awam kalau melihat aku yang seperti orang normal lainnya.”
“Ish, ngomong apa sih, Han? Kamu normal tahu!”
“Iya! Kita berteman sama kamu juga karena apa adanya kamu. Rambut kelabumu itu nggak pernah sekalipun mengusik kami. Jadi kamu nggak perlu mengkhawatirkan hal itu ya?!”
Langkahku pun terhenti. Aku langsung memeluk mereka berdua. Rasa syukur yang tiada tara ku teriakkan dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku tidak pernah menyangka bisa memiliki kebahagiaan sebesar ini. Tanpa sadar aku menitikkan beberapa bulir air mata.
“Sudah, sudah. Jangan mewek gitu dong. Yuk ke kelas. Sebentar lagi bel masuk nih!” Reta menghapus air mata yang mengalir di pipiku. Kami pun kembali berjalan bersama hingga memasuki ruangan kelas. Teman-teman menyambutku dengan tangan terbuka. Mereka tampak begitu senang sekali melihat kehadiranku kembali. Namun aku tidak melihat keberadaan Zeno. Reta dan Kusniyah mengantarkanku di bangku dimana aku dan Zuna duduk.
Tetapi hari ini terasa lain. Sekarang disampingku ada tas kak Haru. Secara spontan mataku mengarah ke tempat dimana bangku kak Haru yang dulu. Benar saja! Aku melihat keberadaan Zuna disana. Dia duduk bersama dengan Zeno. Kenapa mereka berdua duduk di bangku pojok paling belakang? Padahal kan Zeno biasanya duduk di bangku paling depan karena ia terbiasa fokus dengan penjelasan guru di depan kelas. Apalagi penglihatannya kan juga kurang baik. Lantas kenapa Zuna yang kini duduk disana? Apakah semua ini karena salahku? Musibah yang aku alami membuat keadaan kedua teman terdekatku menjadi berubah total. Aku bisa melihat keduanya kini tengah menatapku dengan tersenyum. Namun aku bisa melihat kesedihan masih tersisa dari wajah mereka.
Ku beranikan diri untuk melambaikan tangan sembari tersenyum. Zeno dan Zuna membalas lambaianku. Aku agak terkejut karena Zuna menatakan sesuatu dengan hanya menggerakkan bibirnya dengan perlahan. Kupikir dia mengatakan dua kata, ‘Maaf ya’. Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum tulus.
“Hana, nanti jam istirahat jangan kemana-mana dulu ya. Nanti aku mau ajak ke suatu tempat istimewa,” ucap Reta.
“Dimana itu?” tanyaku penasaran.
“Di kantin!” celetuk Kusniyah.
“Hush!” Reta menggeplak punggung Kusniyah lagi. Aku tertawa kecil melihat kepolosan Kusniyah.
“Memangnya apa istimewanya dengan kantin sih?” tanyaku sambil terkekeh.