LUKA UNTUK SEMBUH

Ivara
Chapter #2

HUJAN SETENGAH LIMA SORE - CHAPTER 2

Nada sedang duduk di dalam kafe bersama Tina ketika ponselnya berdering. Nama “Ibu” muncul di layar. Ia segera mengangkat panggilan itu, dan wajahnya langsung berubah lembut.

“Ibu, hari Minggu Ibu mau ke Bandung, ke rumah Tante Asih. Ibu sama adikmu berangkat pagi. Kamu ikut nggak? Atau mau di rumah aja?” tanya ibunya dari seberang telepon.

Nada melirik Tina sebentar sebelum menjawab, “Kayaknya aku nggak ikut, Bu. Soalnya ada janji sama teman-teman kantor, mau main ke Solo. Kebetulan lagi libur dan aku juga ambil cuti.”

“Ya udah, kalau gitu. Kamu pulang jam berapa? Ibu udah masak makanan kesukaan kamu hari ini.”

Nada tersenyum, menatap cangkir kopinya. “Beneran, Bu? Kalau nggak lembur dan nggak kena macet, aku pulang kayak biasa, ya.”

“Ya sudah. Ibu tunggu di rumah. Hati-hati nanti pulangnya, Nak.”

“Iya, Ibu. Bye. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Nada meletakkan ponselnya dan kembali menatap Tina, yang masih sibuk senyum-senyum sendiri ke arah barista yang tadi datang ke meja mereka. Nada menyipitkan mata, lalu mengerutkan kening.

“Eh, cegil... mata lo mau copot tuh. Kemarin ngelihatin Dika, sekarang cowok lain diliatin kayak orang kelaparan.”

Tina mengangkat alis. “Kenapa sih, Nad? Lo tuh ya, bukannya dukung temen yang lagi seneng.”

Nada mendesah dan mengangkat bahu. “Yeh… ntar lo berantem sama Dika, jangan guling-guling depan rumah gue, ya?”

Tina terkekeh. “Tapi Nad, ganteng banget sumpah! Kayak senja yang... gue nggak rela kalau harus ditelan malam.”

Nada menyeringai sinis. “Kepala lo sih yang bakal gue telan. Lo tiap hari hidupnya puisi mulu. Mending lo daftar jadi pemain teater deh, atau sekalian aja proklamasi di Gedung Putih!”

Tiba-tiba Tina berdiri, membusungkan dada dan berbicara dengan lantang seperti orator. Suaranya menggema di ruangan, karena hanya mereka berdua pengunjung saat itu.

“Saya, Putri Indonesia, dengan ini menyatakan: terkagum-kagum! Hal-hal jang mengenai jatuh hati, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Tina!”

Nada terkejut dan buru-buru berdiri, menarik tangan Tina.

“Ya Allah, malu banget sumpah. Ayo, Tin! Udah waktunya balik, istirahatnya udah habis juga.”

Langkah Nada cepat saat mereka keluar dari kafe. Tina tersenyum kecil, menyadari bahwa Nada akhirnya tertawa. Tawa yang mungkin sudah lama hilang dari wajah temannya itu. Mereka berdua pun menertawakan tingkah Tina sambil berjalan menuju kantor.

Namun tawa itu tiba-tiba berhenti. Suasana mendadak kaku, dan keduanya terdiam seketika. Dari arah seberang, Pak Limo—atasan mereka—tiba-tiba terlihat berjalan ke arah mereka.

Mereka berusaha tetap santai.

“Siang, Pak Limo yang ganteng,” sapa Tina genit seperti biasa.

“Mau ke mana, Pak? Tumben turun, biasanya makan di kantor,” tambah Nada.

Pak Limo mengangguk sopan. “Siang, Tina. Nada. Kebetulan tadi dengar kafe ini baru buka, ya sudah saya mampir sebentar. Kalian dari sana juga?”

“Iya, Pak. Si Tina yang ngajakin,” jawab Nada.

Lihat selengkapnya