Luka yang Tak Pernah Sembuh

Eunike Hanny
Chapter #1

1. Kematian yang Tak Pernah Dipikirkan

Bab 1. Kematian yang Tak Pernah Dipikirkan

 

“Buka!” Teriakan dan gedoran di pintu semakin kencang. “BUKA! BUKA!”


Lina dan Fenny berpandangan dengan perasaan takut yang amat sangat. Mereka saling berpelukan erat, merasakan gemetar hebat pada tubuh masing-masing. Sementara air mata mengalir tak henti-henti di pipi keduanya.


“BUKA! BUKA! BUKA!” Suara riuh yang tak henti-henti menggedor telinga kedua gadis itu, menyusul suara pintu yang terbuat dari kayu itu dipukul berkali-kali dengan sesuatu yang berat.

 

Tidak sampai lima menit, pintu bercat putih itu lepas dari engselnya, lalu didorong dengan kuat hingga terbuka lebar. Jantung Lina seakan terempas. Dia memandang Fenny yang balas menatapnya. Rasa ngeri melibas keduanya.

 

Sekelompok laki-laki bertubuh kekar memasuki apartemen studio itu dengan langkah-langkah lebar dan wajah yang menyiratkan keberingasan.

 

“Ada dua, nih!” Salah satu dari laki-laki itu mendekati Lina dan Fenny dengan bibir menyeringai lebar. “Semua dapat giliran!”

 

Seketika bulu kuduk Lina meremang. Dia seakan melihat seekor serigala buas siap menerkamnya dan sahabatnya. Semakin laki-laki itu dan gerombolannya mendekat, kedua gadis bertubuh kurus itu mundur hingga masuk ke kamar tidur. Keduanya berhenti saat betis mereka menabrak tempat tidur, dan jatuh terduduk di atasnya.

 

Laki-laki yang berdiri paling depan agak membungkuk, mendorong bahu Fenny hingga terbanting di kasur. Tapi Fenny menangkis dengan tangannya dan berusaha bangkit kembali. Laki-laki itu menekan dan menarik kemeja yang dikenakan gadis itu hingga sobek sebagian.

 

“Jangan!” Fenny meraung. “Jangan! Ampun, Bang! Ampun! Jangan ….” Dia berteriak-teriak histeris, memukul dan menendang sekuat tenaga.

 

Lelaki lain mendorong Lina hingga rebah di tempat tidur, bersebelahan dengan Fenny yang melawan dengan keras—berteriak, mencakar, memukul, melakukan apa saja untuk mempertahankan diri dari kebutralan lelaki yang jauh lebih besar darinya. Hingga di satu titik lelaki itu tidak sabar, dan menyambar parang dari tangan salah satu pengikutnya. Tanpa keraguan dia menusuk perut kiri Fenny, dan tanpa ampun memutar-mutar gagang parang hingga luka yang diderita gadis berkulit putih itu membesar. Darah menggenang di atas tempat tidur, sementara erang kesakitan dari mulut Fenny menghilang, seiring embusan napasnya yang berakhir sekian detik kemudian.

 

Lina menghentikan perlawanannya seketika. Telinganya yang peka menangkap bunyi pisau besar dan berkarat itu saat ditusukkan ke perut Fenny. Darah segar menyembur dari luka menganga di perut kawan akrabnya sejak awal kuliah itu. Cairan merah kental mengalir dan merembes pada seprai.

 

Dalam sedetik Lina terpaku. Bagian bawah lengannya yang terkulai terasa lengket, dan hidungnya yang mancung menghidu bau anyir. Kengerian yang dirasakannya membesar, membuat otot-otot di tubuhnya benar-benar lumpuh, tak berdaya.

 

“Kalau kamu melawan, kamu juga akan mati seperti temanmu!” Lelaki yang kini berada di atas tubuhnya menyeringai lebar. Dia menyambar parang dari tangan kawannya, lalu mengacungkan ujungnya yang tajam ke leher Lina, siap untuk menebas. Darah segar masih menetes-netes dari benda itu. “Kamu mau mati?”

 

Ketika melihat Lina diam saja, lelaki itu tersenyum senang. Dia melemparkan parang ke lantai yang segera diambil oleh salah satu rekannya. Dengan kasar laki-laki itu merobek kaus dan celana kain yang dikenakan Lina. Air mata mengalir dari sudut-sudut matanya yang sipit.

 

Gadis berkulit bersih itu memejam saat lelaki itu memasukinya dengan paksa. Setiap sentakan dan kesakitan yang dia rasa, seakan-akan membawanya lebih dekat pada kematian.

Lihat selengkapnya