Bab 2. Dunia yang Tak Lagi Sama
Tiba-tiba seseorang melompat dengan tangan terentang, menghalangi laju motor yang dikemudikan Suhadi. “Balik! Balik!” Lelaki itu berteriak sambil tangannya bergerak, memberi isyarat agar Suhadi dan seorang pemotor lain di belakangnya berbalik arah.
Suhadi mengerem laju motornya. “Kenapa, Bang?”
“Jembatan Lima rusuh, Bang! Jangan ke sana. Bahaya!”
Hati Suhadi mencelus. Dia punya janji dengan Yandi, seorang pelanggan taksinya yang tinggal di kawasan sekitar situ. Perasaan cemas menyelinap ke dalam benaknya. “Bener nggak bisa ke sana, Bang?”
“Lo mau mati?” Orang itu mengetuk setang motornya. “Udah! Udah! Sana pergi!”
Dengan perasaan berat Suhadi membelokkan motor dan berjalan menjauh, sementara otaknya mengingat-ingat jalan mana saja yang mungkin dilewatinya untuk sampai ke rumah Yandi tanpa terjebak kerusuhan. Setelah berjalan beberapa menit, dia menghentikan motor dan mendongak. Dilihatnya asap hitam membubung tinggi di kejauhan. Samar-samar telinganya menangkap suara teriakan dan sorakan.
Jantungnya berdentum-dentum. Perasaan takut menyebar ke seluruh tubuhnya, tapi dia harus tahu bagaimana keadaan Yandi dan keluarganya. Dia sungguh berharap mereka baik-baik saja.
Satu detik kemudian Suhadi membelokkan motor, kembali ke arah semula. Dia hanya melaju sepuluh kilometer per menit, dan berharap tidak bertemu perusuh sampai dia tiba di rumah Yandi. Laki-laki yang tadi mencegatnya sudah tidak ada, begitu pula orang lain. Jalanan mendadak senyap. Area yang biasanya padat dengan lalu lalang manusia dan kendaraan, hari ini sunyi sekali. Bahkan, suara kucing liar mengeong pun tidak terdengar.
Perjalanan dari ujung jalan yang biasanya hanya sepuluh menit dengan taksi itu terasa sangat lama.
Suhadi merinding. Perasaan ngeri menerkam dirinya.
Hati Suhadi mencelus sekali lagi saat motornya memasuki jalanan di mana rumah Yandi berada. Matanya melotot kaget melihat rumah-rumah dirusak—kaca jendela dipecah, pintu-pintu didobrak lepas dari engselnya, dan sebagian dindingnya dicoret-coret dengan berbagai kata makian. Para perusak itu menggunakan cat warna merah hingga tulisannya tampak mencolok. Pot-pot tanaman berhamburan, dan ada satu-dua mobil yang bodinya rusak berat.
Suhadi tiba di sebuah rumah yang tak kalah rusaknya dengan rumah-rumah di sebelahnya. Mula-mula dia pikir salah rumah, tapi nomor yang tergantung di dekat pintu menunjukkan itu rumah Yandi yang dia kenal. Dia buru-buru turun dari motor dan setengah berlari melewati pintu depan yang terbuka lebar.
Keadaan di dalam rumah tidak lebih baik dari keadaan di luar. Sofa dicabik-cabik hingga busa isiannya berhamburan. Televisi dan alat elektronik sudah pasti diambil paksa. Suhadi melihat bagian meja yang tidak berdebu, tanda dulunya ada benda yang menutupi bagian itu.
Suhadi diam, mencoba mendengarkan apakah ada suara seseorang selain tetesan air dari keran di kamar mandi. Dia tahu, Yandi hanya tinggal bertiga dengan istri dan seorang anak perempuan. Dia menajamkan telinga, tapi rumah itu benar-benar senyap.