Bab 3. Ketika Mereka Pergi
Jumiati memindahkan keripik kentang dari wajan ke dalam baskom besar di meja. Dia harus menunggu sampai masakan itu dingin sebelum membaginya ke dalam beberapa plastik berukuran setengah kilogram.
“Mak, aku mau main sama Anton!” teriak Eka, putra satu-satunya yang duduk di kelas 2 SMP—dua bulan lagi naik kelas tiga. Dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-15.
“Jangan jauh-jauh!” Jumiati mendongak sesaat, melihat Eka mengepit bola dengan tangan kirinya.
“Aku ke lapangan bola dekat pos hansip, Mak.” Eka membuka pintu depan dan keluar. Jumiati sempat mendengar suara anak-anak tetangganya menyapa Eka sebelum pintu ditutup kembali.
Sekilas terbit rasa syukur di hati Jumiati. Meskipun dibesarkan tanpa ayah—Jumiati bercerai dengan Kardi saat usia Eka baru dua tahun—tapi Eka tumbuh menjadi anak yang baik. Dia tidak pernah merepotkan, tidak pernah berkelahi dengan teman-temannya, dan nilai-nilai di rapornya lumayan bagus. Jumiati bisa bekerja menjadi pembantu di rumah dan apartemen yang dekat dengan rumah kontrakannya dengan tenang. Kardi yang sudah berumah tangga lagi dan bekerja serabutan hanya sesekali mengirim uang, jadi Jumiati bekerja keras supaya Eka bisa sekolah tinggi.
Setelah mencuci peralatan memasak, Jumiati menyalakan radio di atas bufet. Dia mulai membungkus keripik kentang yang sudah mendingin sambil bersenandung mengikuti lagu yang disiarkan radio itu. Tapi, sebentar kemudian, tayangan lagu berubah menjadi berita.
Jumiati meletakkan sendok di tangannya ketika radio menyiarkan kerusuhan yang mendadak terjadi di beberapa kawasan di Jakarta. Dia bangkit dan mendekati radio, mengeraskan volumenya. Berita yang didengarnya masih sama. Kerusuhan meluas setelah aksi demonstrasi mahasiswa kacau balau—beberapa dari mereka terluka dan ada yang tertembak peluru tajam.
Wanita yang usianya nyaris empat puluh tahun itu segera teringat Eka yang belum pulang. Dia bergegas keluar rumah, menyusuri jalanan sempit yang diapit sederetan rumah yang sebagian besar terlihat kumuh.
Ketika tiba di lapangan bola dekat gardu keamanan, Jumiati menengok ke kanan dan ke kiri. Di sana hanya ada beberapa anak usia tanggung yang sedang bermain, tapi tidak ada Eka dan Anton di antara mereka.
Jumiati mendekati seorang anak yang tampaknya bertindak sebagai penjaga gawang. “Dek, lihat Eka?” tanyanya.
Anak itu menoleh dan menggeleng, lalu berteriak pada teman-temannya yang ada di tengah lapangan, menanyakan Eka dan Anton. Tapi, anak-anak itu hanya menggeleng atau melambaikan tangan tanda tak tahu.
Dada Jumiati berdebar keras. Dia berlari kembali ke arah rumahnya, tapi beberapa kali berhenti di rumah orang-orang yang dikenalnya.
“Katanya mau ke mal.” Seorang anak kecil yang sedang duduk di depan salah satu rumah memberitahunya.
Jumiati menatap anak laki-laki berpenampilan kumal itu dengan mulut ternganga. “Ke mal? Sama siapa?”
Anak itu mengangguk. “Sama Anton. Dia titip bola di sini.” Dia menunjuk bola yang tergeletak di sudut teras rumahnya.
Jumiati berbalik arah dan berlari ke rumah Anton yang letaknya sedikit lebih jauh dari lapangan bola. Sesampainya di sana, dia nyaris menggedor pintunya karena diketuk-ketuk tak kunjung dibuka. Seorang wanita sebaya Jumiati membuka pintu dan keluar dengan wajah mengantuk.