Bab 4. Menyimpan Kenangan
Jumiati yakin, apa yang dilihatnya akan menghantuinya sampai mati. Pemandangan di depannya terlalu mengerikan. Seluruh sendi-sendi tubuhnya lemas, dia merosot ke lantai dengan air mata mengucur deras.
Dia meratap. “Non … ya, Allah … Non Fenny … Non Lina ….”
Setelah sekian menit berlalu, dengan sisa tenaga yang tersisa, Jumiati merangkak pelan-pelan, mendekati tempat tidur. Dia memegang lengan Fenny yang menjuntai. Tangan itu mulai dingin dan kaku. Mata gadis itu terbuka lebar, tapi tidak ada cahaya kehidupan di sana. Kekejaman yang dialaminya telah merenggut nyawanya sekian jam yang lalu.
Jumiati menyandarkan kepalanya di pinggiran tempat tidur. Dia tak peduli dahinya basah karena rembesan darah. Dia acuh saat hidungnya menghidu bau amis darah. Airmatanya berhamburan kembali, meratapi kematian gadis itu yang terlalu cepat dan terlalu mengerikan.
“Di sini!” Tiba-tiba ada suara menyela dan langkah-langkah kaki yang terdengar semakin dekat. Seseorang menyentuh bahunya. “Ibu?”
Jumiati mendongak, menatap sepasang mata yang tengah memperhatikannya. Ada orang lain bersama wanita itu, sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Fenny dan Lina di tempat tidur.
“Yang ini masih hidup! Kita harus bawa ke rumah sakit.” Orang itu memberi perintah pada yang lain.
Wanita itu berjongkok di depan Jumiati. “Ibu nggak apa-apa?” Melihat Jumiati menggeleng, dia bertanya lagi. “Ibu kenal sama gadis ini?” Dia menunjuk Fenny.
Jumiati mengangguk dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Dia terisak-isak.
“Maaf ya, Bu. Saya turut berdukacita.” Wanita itu memeluk Jumiati, mengusap-usap bahunya. Pelukan itu membuat air mata Jumiati semakin deras.
Wanita itu melepaskan pelukannya, tapi kedua tangannya masih memegang bahu Jumiati. “Ibu ikut kami, ya? Kami minta tolong, Ibu bisa bantu kami untuk identitas pasien dan keluarganya.”
Jumiati mengusap air matanya dengan punggung tangan. Kini dia melihat mata wanita itu memerah—sepertinya dia juga habis menangis. Entah apa yang ditangisi wanita itu.
Seperti orang linglung, Jumiati mengikuti wanita itu dan kawan-kawannya. Mereka mengurus jasad Fenny dan membawa Lina ke rumah sakit. Seorang wanita lain memapahnya dan membawanya turun ke lantai dasar. Di bawah, seorang laki-laki berusia tiga puluhan mencatat nama dan alamatnya.
Jumiati teringat pada Eka yang belum pulang ke rumah. “Anak saya ….”
Pria yang bersamanya mengerutkan dahi. “Anak Ibu?”
Yang ditanya mengangguk. “Anak saya belum pulang … saya harus pulang sekarang ….” Seketika perasaan panik menyergapnya lagi. “Saya harus pulang ….”
Dengan tergesa-gesa Jumiati bangkit dari bangku yang didudukinya dan berlari menuju pintu keluar. Pria itu mengejarnya. “Ibu! Tunggu!” Lengan Jumiati ditahan.”Sebentar, saya akan antar Ibu pulang.”
Pria itu memanggil rekannya dan memintanya menggantikan tugasnya, sementara dia mengantar Jumiati pulang.
Namun, sesampainya di rumah, Eka masih tidak terlihat. Kecemasan yang melanda hati Jumiati semakin besar. Tergopoh-gopoh dia menuju rumah Sarmi, menanyakan apakah Anton sudah kembali. Sarmi menggeleng.
Pria yang mengantar Jumiati memperkenalkan diri. Namanya Wahyudi. Dia seorang relawan kemanusiaan. Dengan sigap dia mencatat data diri Eka dan Anton, dan berjanji untuk mencari informasi keberadaan kedua remaja itu. Setelah itu, Wahyudi pamit untuk melanjutkan pekerjaannya—bergabung dengan relawan lainnya akan mencari dan menolong korban kerusuhan.
Jumiati terjaga sampai jauh malam, berharap Eka pulang dalam keadaan selamat. Dia tak bisa menelan nasi satu butir pun. Pikirannya sibuk bertanya-tanya, bagaimana keadaan putranya saat ini. Apakah Eka baik-baik saja? Di mana Eka makan malam ini? Anak itu tidak membawa uang jajan sama sekali. Di mana dia tidur? Apakah dia kedinginan? Apakah dia sudah minum? Benaknya dipenuhi ribuan pertanyaan yang tidak dia miliki jawabannya.
Pagi mendatangi Jumiati dengan ketegangan yang tak juga hilang. Dia menunggu kabar dari tetangganya yang pergi ke rumah sakit, mencari data korban luka-luka atau meninggal dari kampung mereka saat terjadi kerusuhan dan kebakaran.
Salah satu tetangga mengabarkan ditemukan banyak jasad korban kebakaran. Jasad-jasad itu tak bisa dikenali lagi karena rusak berat—hangus terbakar. Tidak jelas apakah mereka mati menghirup asap, atau karena luka berat akibat kebakaran.