Bab 5. Kehangatan yang Dirindukan
Indra menggenggam tangan kanan Kemala erat-erat. “Jangan takut. Papaku baik, kok. Apalagi Mama. Kamu pasti suka. Dia pintar masak, kamu suka makan. Pas, kan?” Pria itu melirik gadis berambut hitam lurus sebahu itu yang bibirnya kini komat-kamit seakan sedang berdoa. Dia tersenyum geli melihatnya. “Sudah … tenang. Ada aku.”
Kemala membalas lirikan kekasihnya sepintas lalu, lalu menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. Dia berharap tarikan napas itu sedikit menurunkan kecepatan debaran di dadanya. Dia tak menyangka akan setakut ini menemui calon mertuanya. Dia tidak yakin dirinya memenuhi kriteria calon menantu idaman.
“Masuk sekarang?” Indra menawarkan.
Tanpa menoleh, Kemala mengangguk. Pandangannya tertuju sepenuhnya pada rumah dua lantai di hadapan mereka. Rumah model minimalis itu ditutup pagar kayu setinggi orang dewasa.
Keduanya menyeberang jalan selebar tiga meter itu, meninggalkan mobil SUV milik Indra terparkir di tanah kosong di belakang mereka. Indra melepaskan tangannya dari genggaman Kemala untuk mendorong pagar yang rupanya tidak terkunci. Didorongnya daun pintu pagar lebih lebar, dan mempersilakan Kemala masuk.
Sebuah taman yang ditata dengan cantik menyambut Kemala, dan wangi melati yang dibawa angin berembus seketika tercium oleh hidungnya yang mancung.
Seorang gadis remaja membuka pintu depan, dan seketika itu juga berteriak. “Oma! Om Indra bawa pacar!”
Kemala berpaling pada Indra, dan pria itu menyeringai. “Itu Greta. Ingat kan, yang suka banget main sepak bola?”
Kemala ikut tersenyum dan mengangguk. Dia melambai kecil pada Greta yang masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan ingin tahu. “Hai! Aku Kemala.”
Indra menaiki undakan menuju teras, diikuti oleh Kemala. Greta menghilang ke lantai atas, dan sosoknya digantikan oleh Dyah, ibunda Indra.
“Mama, ini Kemala.” Indra menggandeng tangan Kemala, memperkenalkannya pada sang ibu. “Mala, ini Mama. Nama lengkapnya, Yang Mulia Kanjeng Ratu Dyah Ratnasari Pitaloka Yang Cantik Jelita Sakti Mandraguna.”
Sekejap, tawa memenuhi ruangan. Sekilas Kemala melihat Greta mengintip dari balik dinding yang membatasi lantai satu dan lantai dua.
Kemala mengulurkan tangan untuk menyalami wanita setengah baya berwajah oval dengan bibir tipis yang dipulas lipstik warna merah lembut. “Selamat sore, Tante. Saya Mala. Kemala Limanto.”
Dyah tersenyum. “Halo, Mala. Tante lega akhirnya Indra bawa pulang perempuan. Tante sudah takut aja kalau dia belok.”
“Eh, Mama!” Indra memprotes. “Bisa-bisanya punya pikiran seperti itu!”
“Lha, habis gimana. Pacar terakhir yang kamu kenalin ke Mama itu pas kelas dua SMA. Si Dewi, atau siapa ya, namanya? Mama lupa. Habis putus dari Dewi itu, kamu nggak pernah ngajak satu pun cewek ke rumah. Yang datang malah Seno lah, Vincent lah. Nggak salah dong, kalau Mama sampai mikir, jangan-jangan kamu belok gara-gara patah hati ditinggal Dewi.”
“Seno, Vincent, dan lain-lain itu kan, urusan kampus sama kerjaan, Ma. Aku masih normal, kok. Cuma belum ketemu cewek yang mau kuajak kemari. Katanya takut sama Mama yang galak.” Indra membalas ledekan sang ibu.
“Siapa bilang Mama galak? Ketemu aja belum, ngatain Mama galak.” Dyah berbalik, menyentuh bahu Kemala. “Mala, lihat nih, muka Tante. Apa muka begini cantik ini galak? Nggak, kan?”
Kemala tersenyum. “Saya setuju bagian cantiknya, Tante.”