Luka yang Tak Pernah Sembuh

Eunike Hanny
Chapter #6

6. Luka yang Tidak Terlihat

Bab 6. Luka yang Tidak Terlihat

 

Kemala mengumpulkan rambutnya menjadi satu, menggelungnya dan mengikatnya dengan jepit rambut. Angin berembus mengenai tengkuknya, terasa sejuk di kulit. Lalu gadis itu berpaling, memperhatikan seorang perempuan tua yang sedang berdiri di depan nisan besar yang terbuat dari batu berwarna abu-abu. Di atas batu itu terukir sederet huruf mandarin dan angka-angka.

 

Kemala tidak bisa membaca huruf mandarin yang tercetak di bongpay—batu nisan pada makam orang Tionghoa. Dia hanya menduga tulisan itu bermakna nama orang yang meninggal, waktu kelahiran serta hari wafatnya, seperti yang biasa terukir di batu nisan orang lain.

 

Nenek Kemala, Ah Fen, selalu mengunjungi pemakaman pada hari raya Ceng Beng—hari untuk berziarah ke makam orang tua dan leluhur. Saat kecil, Kemala selalu ikut wanita itu, meskipun dia tidak ikut sembahyang. Tapi, dia berhenti mengikuti tradisi yang dilakukan Ah Fen saat dia kelas empat atau kelas lima sekolah dasar, karena bosan.

 

“Yang dikubur di sini siapa aja sih, Mak?” tanya Kemala dengan suara berbisik pada Jumiati. “Selain Kongco sama O-co?” *Kakek buyut dan nenek buyut.

 

“Kayaknya ya, saudara-saudaranya Pho-pho, Non. Atau saudaranya Kong-kong.” Jumiati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Karena Ceng Beng, pemakaman itu jadi padat dengan orang-orang yang berziarah.

 

“Kuburan Mama sebelah mana ya, Mak?” Kemala bertanya lagi, tapi kini dia berpaling pada Jumiati. Matanya fokus pada wanita setengah baya itu.

 

Sedetik Jumiati terpaku mendengar pertanyaan itu. Tapi, seperti biasa, dia berhasil mengendalikan diri—berpura-pura tidak tahu apa pun. “Nggak tahu, Non. Pho-pho nggak pernah ngasih tahu Emak. Non coba tanya Pho-pho. Siapa tahu, kalau Non nanya sekarang, Pho-pho mau jawab.”

 

“Nggak bakalan Pho-pho ngasih tahu aku, Mak.” Kemala mengeluh.

 

“Mungkin dulu Non masih kecil. Sekarang Non udah 20 tahun lebih. Siapa tahu, kan?” Jumiati berdiri. “Tuh, Non. Kayaknya Pho-pho udah selesai sembahyang.” Dia menunjuk Ah Fen yang sedang meletakkan hio di bongpay yang berbentuk meja. Di sekitar hio itu terlihat juga buah-buahan dan kue basah sebagai sajian.

 

Kemala berdiri dari duduknya di atas sebuah batu. Dia mengibaskan debu yang menempel di celana panjangnya, lalu mendekati Ah Fen yang berjalan pelan-pelan keluar dari bongpay orang tuanya. Jumiati mengikutinya.

 

Kemala membantu neneknya menuruni undakan bongpay. “Pho-pho, selesai dari sini, ke mana lagi?” tanyanya.

 

Ah Fen menggeleng. “Sudah. Ayo, pulang.”

 

“Pho-pho nggak ke kuburan Mama aku?” tanya Kemala.

Lihat selengkapnya