Bab 7. Yang Tak Pernah Dikisahkan
Dengan hati-hati Kemala menata kepingan marmer berukuran kecil dengan beragam motif itu ke dalam kotak kardus. Setelah rapi, dia menutup bagian atas kotak dan meletakkan beberapa lembar dokumen di atasnya. Dia mendorong kotak itu ke tengah meja.
“Semua sampel sudah ada di sini ya, Pak.” Tangan kanan Kemala menepuk kotak. “Harga dan minimal quantity order untuk best price, semua lengkap.”
Pria setengah baya di hadapannya mengangguk. “Terima kasih, Mbak Mala. Nanti saya hubungi lagi sesudah klien lihat sampel dan ngasih decision ke kami.”
“Terima kasih, Pak Bima.” Kemala melihat jam di pergelangan tangan kirinya. “Saya kembali ke kantor dulu, ya? Sepertinya jam segini belum macet.”
Bima mengangguk dan berdiri, diikuti Kemala. Keduanya bersalaman, lalu berpisah jalan. Kemala menelepon sopir kantor. Tak sampai lima menit kemudian, gadis itu sudah duduk santai di kursi belakang Toyota Anvanza hitam metalik.
Kemala sedang memandang keluar jendela, melihat lalu lintas yang tidak terlalu padat ketika perhatiannya beralih pada kerumunan orang berbaju serba hitam. Sebagian dari mereka membawa poster dan payung bertuliskan “Aksi Kamisan untuk kemanusiaan dan keadilan”, “Tuntaskan kasus Mei 1998”, dan “Tuntaskan kasus pelanggaran HAM berat”.
Namun, jantungnya seakan melonjak ketika matanya menangkap sosok Jumiati di antara orang-orang itu. Dia menggeser pantat hingga wajahnya menempel di kaca, memastikan penglihatannya tidak salah. Wanita bertubuh kurus dengan rambut ikal sebahu itu memang Jumiati—yang dia panggil dengan sebutan ‘Emak’. Dia mengambil ponsel dari dalam tas tangan, mencari nomor Jumiati, dan menekannya. Beberapa saat menunggu, panggilannya masuk ke kotak suara.
Kemala membalikkan tubuh, menyandarkan punggung ke kursi mobil. Dadanya masih berdebar cepat, takut salah melihat dan serangkaian pertanyaan yang mendadak muncul di kepala.
Ketika tiba di rumah, Kemala bergegas lari ke belakang, menengok kamar Jumiati. Kamar itu kosong—benar wanita itu sedang di luar rumah. Dicobanya sekali lagi menelepon ponsel Jumiati, tapi panggilannya masih masuk ke kotak suara. Akhirnya Kemala memutuskan untuk membersihkan diri lebih dulu, lalu menunggu mondar-mandir di antara ruang tamu dan teras.
“Ada apa?” tanya Ah Fen ketika melihat sang cucu berjalan bolak-balik dengan sikap gelisah.
“Nggak apa-apa, Pho-pho. Aku lagi mikirin kerjaan, kok.” Kemala tersenyum, lalu memutuskan duduk di teras saja. Dibukanya situs pencarian di ponsel, lalu mengetik kata kunci “Aksi Kamisan”. Dengan cepat dia membaca beberapa judul berita yang berkaitan. Aksi damai yang menuntut pemerintah untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia itu diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat umum. Apakah Jumiati salah satu keluarga korban, atau hanya orang awam yang bersimpati pada keluarga korban?
Gadis itu harus menunggu hingga hari gelap ketika orang yang ditunggunya datang.
“Mak.” Kemala turun dari teras untuk mendekati Jumiati yang sedang menutup pintu pagar lalu memasang gembok.
Jumiati menoleh. “Lho, kok masih di luar, Non? Sudah makan?”
Kemala menggeleng. “Nanti aja. Aku mau tanya, Mak. Sore tadi … eumm … Emak ke Aksi Kamisan?”
Sekejap Jumiati terdiam, lalu kepalanya mengangguk.