Bab 8. Penyesalan yang Tak Pernah Pergi
Kemala terbangun dengan kepala pening. Dirabanya dahi dan leher. Tidak panas. Suhunya normal, artinya dia tidak sakit. Mungkin dia hanya kelelahan. Selama beberapa hari terakhir dia memang banyak pekerjaan—rapat dengan calon pembeli dan orang-orang pabrik yang biasanya diadakan di luar kantor. Perjalanan ke sana-sini cukup banyak menyita waktu, apalagi saat harus melintasi jalanan macet. Benar-benar menguji kesabaran para pekerja seperti dirinya.
Gadis itu menengok jam besar yang tergantung di atas pintu kamar. Hampir pukul delapan. Untung saja hari Sabtu. Dia tak perlu ke kantor.
Kemala menyibak selimut, mencari karet untuk mengikat rambut panjangnya, dan mengambil baju dari lemari. Saat hendak ke kamar mandi, langkahnya terhenti mendengar suara tantenya, Lisa. Kemala memanggilnya Yimu.
“Sudah dua puluh lima tahun lho, Ma. Sudah lama banget,” kata Lisa. “Apa nggak sebaiknya anak itu tahu?”
Anak itu? Kemala mengerutkan dahi. Siapa yang dimaksud dengan anak itu? Apakah itu dirinya?
Kemala mundur dan merapat ke tembok yang menjadi pembatas antara ruang makan dan bagian belakang rumah di mana kamarnya dan kamar Jumiati berada. Di balik pembatas itu ada ruang makan sekaligus dapur.
“Kemarin … Non ngelihat saya ke Aksi Kamisan.”
Seketika suara Jumiati membuat dada Kemala berdebar-debar. Jadi, mungkin yang dimaksud dengan anak itu memang dirinya.
“Dia bilang apa?” tanya Lisa.
“Dia tanya kenapa saya ada di sana. Saya kasih tahu tentang Eka, Non.”
Selama beberapa saat tidak ada yang berbicara lagi. Kemala hendak masuk ke kamar mandi ketika pendengarannya menangkap suara Ah Fen. “Kalau dia tahu, buat apa? Nggak ada gunanya.”
“Seenggaknya, dia tahu kalau Lina masih hidup.”
Bagai sebuah bom meledak persis di depan Kemala. Lina. Itu nama ibu kandungnya. Dulu, mereka mengatakan mamanya sudah meninggal, sekitar dua minggu setelah melahirkan. Tapi, sekarang mereka bilang dia masih hidup?
“Sesudah itu, apa?” tanya Ah Fen. Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. “Bukan lebih kasihan kalau dia tahu kejadian yang dialami Lina?” Jeda, lalu terdengar suara wanita tua itu terbata-bata. “Rasanya sakit sekali, Lis. Sakit sekali ….”
Kemala bisa mendengar Ah Fen terisak-isak, lalu suara Lisa menenangkannya.
“Ada apa?” Tiba-tiba terdengar suara Andi, pamannya. Kemala memanggilnya Engku. Tampaknya, pria itu baru saja datang.
Hening beberapa saat. Sepertinya tidak ada yang ingin menjawab pertanyaan Andi.