Bab 9. Ketika Semuanya Terbuka
Kemala mengaduk-aduk spagheti oglio alio di piringnya tanpa semangat. Dia menarik helaian mie itu dengan garpu, menggulungnya dan menyuapnya. Dia merasa kebas. Bahkan makanan favoritnya tak bisa mengembalikan suasana hatinya yang porak poranda.
“Kamu kenapa?” tanya Indra yang duduk berhadapan dengannya. Beef steak di piringnya sudah lama habis, sementara makanan di piring Kemala baru berkurang separuh. “Nggak biasanya kamu lesu begitu. Something happened?”
Gadis itu mendongak, menatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Mata yang menatapnya tajam, alis tebal, hidung mancung, dan dagu yang samar-samar terbelah. Dia mirip sekali dengan ibunya, Dyah. Sementara rambutnya yang sedikit ikal pasti warisan dari Harsa, sang ayah.
Kemala menarik napas, lalu menatap kulitnya yang kecokelatan. Warna kulit yang berbeda dari nenek dan keluarga besar mereka. Sesuatu yang dia rasakan sejak kecil, mengapa dia begitu berbeda dari mereka. Dia nyaris tak punya kemiripan dengan ibu kandungnya, yang fotonya pernah dilihatnya di kamar sang nenek.
Setiap kali ada acara kumpul dengan keluarga besar, seperti saat Tahun Baru Imlek, dia seperti makhluk asing yang tersesat. Dia diselamatkan oleh sifatnya yang mudah bergaul dengan siapa saja, hingga perlahan-lahan dia mampu mengatasi perasaan terasing itu sendiri.
Semua pertanyaan tentang perbedaan itu terjawab sudah beberapa hari yang lalu. Dia jadi paham mengapa secara penampilan dia berbeda dengan keluarganya.
Kemala meletakkan garpu di tangannya, menggeser piringnya, lalu menopang dagu dengan kedua tangan dilipat di atas meja.
“Ada apa, La?” tanya Indra. “Ada masalah? Kalau kamu diam aja, aku nggak bisa nolongin kamu, lho.”
“Nggak usah nolong, karena memang nggak ada yang harus ditolong.” Kemala memalingkan wajah ke samping, menatap keluar jendela. Hanya ada langit berwarna biru gelap di atas sana, dan lampu-lampu kecil dari gedung-gedung di sekitarnya. Mereka sedang berada di sebuah restoran di lantai paling atas sebuah gedung.
Indra memperhatikan Kemala, lalu beralih pada ponselnya. Dia hapal salah satu kebiasaan Kemala. Jika sedang tidak enak hati, atau mendekati frustasi, gadis itu hanya akan diam selama beberapa waktu. Dia hanya harus menunggu sampai suasana hati Kemala lebih baik, lalu mendengarkan apa sedang yang mengganggu pikirannya.
Sementara mata Kemala menatap satu titik cahaya lampu di kejauhan, ingatannya kembali pada percakapan keluarganya di ruang makan.
“Kami … nggak tahu siapa Papa kamu.” Lisa yang menjawab pertanyaan Kemala. “Saat itu … nggak ada yang tahu kejadiannya seperti apa.” Jeda. “Waktu ditemukan, dia berdua dengan Fenny, teman baiknya. Tapi, Fenny sudah meninggal, dibunuh. Dia diperkosa, entah berapa orang. Dia selamat, tapi trauma berat. Dia berhenti … bicara.”
Keheningan yang sangat lama kembali ke ruangan. Ah Fen terisak pelan. Dia melepas genggamannya pada tangan Kemala, lalu menarik beberapa lembar tisu dari kotaknya dan mengusap pipinya yang basah.