Bab 10. Dunia yang Diam
Kemala dan Indra berdiri bersisian, menatap bangunan berlantai dua di hadapan mereka. Pot-pot bunga berderet di dekat teras. Pohon palem dan pohon-pohon lain berukuran lebih kecil memenuhi bagian samping kiri bangunan, sementara bagian kanan ditumbuhi pohon-pohon yang lebih besar.
Angin dingin berembus, menyentuh kulit lengan Kemala. Gadis itu bersedekap, lalu kedua telapak tangannya saling mengusap untuk mengurangi hawa dingin. Dia menarik napas dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sungguh menyegarkan.
Indra menggamit lengan Kemala, mengajaknya masuk. Di belakang mereka, Jumiati mengikuti dengan keranjang berisi buah-buahan.
Di ruang tamu, sebuah meja tinggi berfungsi sebagai meja resepsionis. Seorang perawat wanita berusia pertengahan empat puluh berdiri di baliknya sambil menelepon. Perawat lain keluar dari ruang dalam, menghampiri Indra dan Kemala.
“Bisa kami ketemu salah satu pasien di sini?” tanya Kemala setelah perawat kedua itu menanyakan namanya. “Namanya Lina. Saya … anaknya ….”
Perawat perempuan itu terlihat kaget. Dia buru-buru berkata, “Sebentar, saya panggilkan Kepala Perawat saja, ya? Suster Nina.” Dia menunjuk sofa berlapis kain warna biru langit di sudut ruangan. “Silakan tunggu di sana, Mbak.”
Peraawat itu kembali ke dalam setelah berbisik pada perawat di belakang meja resepsionis yang sudah selesai menelepon. Indra, Kemala, dan Jumiati menunggu di sofa, sampai seorang wanita berusia setengah baya keluar. Dengan segera Kemala menyukai apa yang dilihatnya. Wanita itu kelihatannya sabar, dengan senyum yang tampaknya selalu terukir di wajahnya. Sinar matanya terlihat bersahabat, dan suaranya lembut saat memperkenalkan diri.
“Saya Nina. Saya diserahi tanggung jawab untuk mengurusi tempat ini.” Dia bahkan tidak menyebutkan jabatannya, melainkan tugas yang diembannya. “Saya dengar, Anda putri dari Bu Lina?” Dia menunjuk Kemala.
Kemala mengangguk. “Saya ingin bertemu dia. Apakah bisa?”
“Kalau sekadar bertemu, bisa. Tapi, tidak bisa bercakap-cakap.” Suster Nina berhenti sejenak, memusatkan perhatiannya pada Kemala. “Sejak pertama kali dia masuk ke tempat ini.”
“Kenapa?” tanya Indra.
Suster Nina berpaling ke arah Indra. “Dia tidak mau bicara. Dia masih trauma.” Dia berhenti lagi, kali ini untuk menghela napas. “Apa yang dialaminya memang sangat mengerikan.” Jeda lagi. “Dan, dia tidak bisa menemui tamu laki-laki. Dia … masih sangat takut.”
“Om saya juga nggak bisa ketemu Mama saya?” tanya Kemala, teringat pada Andi.
Suster Nina mengangguk. “Untuk perawat laki-laki, sudah tidak ada masalah, karena sudah familiar, dan bisa dikenali dari seragamnya. Tapi, kalau tamu laki-laki, masih belum.”
Indra mengangguk-angguk, lalu menoleh pada Kemala dan Jumiati. “Kalian saja yang masuk. Aku tunggu di sini.”