Bab 11. Menerima dan Melepaskan
Dahi Kemala berkerut saat membaca judul-judul berita dan artikel tentang kerusuhan di bulan Mei 1998. Dia hanya sanggup membaca beberapa, lalu menutup semua situs dengan perasaan campur aduk. Semuanya terlalu mengerikan, bahkan hanya untuk dibaca. Dia tak sanggup membayangkan bagaimana para korban yang bertahan hidup setelah mengalami kekejian begitu dahsyat.
“Sudah. Tutup. Jangan dibaca lagi.” Indra menutup laptop di bantal yang dipangku Kemala tanpa melihat layarnya lagi.
“Sudah kututup, kok.” Kemala mengembalikan laptop itu di meja ruang tamu. “Hmmm … Papa Mama kamu belum datang, ya?”
Indra berdiri, mengintip dari sela-sela tirai dan menggeleng. Tapi, sedetik kemudian telinganya mendengar deru mesin mobil, semakin dekat dan akhirnya berhenti di depan rumah. “Ah, itu mungkin mereka.”
Kemala bangkit dari duduknya di sofa, sedangkan Indra cepat-cepat membuka pintu ruang tamu, bersamaan dengan suara pintu pagar yang sedang digeser. Tak lama, Harsa dan Dyah muncul dengan beberapa tas belanja.
“Selamat malam, Om, Tante.” Kemala menyapa.
“Halo, Mala.” Dyah menyapa. Dia menyerahkan tas-tas yang dibawanya kepada Indra. Dipeluknya Kemala dengan hangat, seperti seorang kawan yang sudah lama sekali menjalin hubungan persahabatan. Sementara Harsa hanya mengangguk dengan bibir mengulas senyum tipis.
Dyah mengajak Indra dan Kemala duduk di ruang tengah. Di ruangan yang cukup luas itu ada sofa besar empat sisi dan meja pendek lebar di tengah-tengah. Televisi layar datar berukuran 60 inch menempel di salah satu dinding, berdekatan dengan bufet tempat menyimpan pajangan yang terbuat dari porselen.
Setelah orang tuanya duduk berdampingan di sofa besar, Indra mengajak Kemala duduk di sofa tunggal yang bersebelahan, berhadapan dengan Dyah dan Harsa. Seorang asisten rumah tangga menyajikan teh dan kue-kue basah.
Harsa berdeham sebelum mulai bicara. “Begini, Indra, Kemala.” Dia diam sejenak, tapi matanya tetap mengarah pada pasangan muda di depannya. “Mala, Indra sudah cerita semua tentang kamu.”
Dada Kemala berdebar-debar saat Harsa menyebut namanya. Dia tak tahu mengapa orang tua Indra ingin menemuinya malam ini. Ketika dia menceritakan kisah hidupnya pada Indra—membongkar asal-usul kelahirannya yang mungkin dinilai orang penuh dengan aib, dia sudah menyiapkan hati untuk berpisah dari kekasihnya selama tiga tahun itu.
Apakah malam ini Harsa yang akan memutuskan hubungan mereka?
“Saya tidak keberatan dengan semua itu,” Harsa melanjutkan.
Mata Kemala dan Indra saling bertatapan. Perasaan lega seketika meliputi keduanya.
“Yah … kejadian itu bukan salah korban seperti kamu, Nak,” kata Dyah, lalu dia melirik putra bungsunya. “Ndra, kamu kira, pikiran Mama sama Papa itu sempit kayak selokan, ya? Kerusuhan itu terjadi karena ada orang rakus yang haus kekuasaan. Dan nggak tahu kenapa, cuma suku tertentu yang dikorbankan, dijadikan sasaran kekerasan.”
Kemala diam. Dalam hati dia membenarkan perkataan Dyah. Saat mencari berita tentang kerusuhan 1998, tidak sengaja dia juga menemukan fakta sejarah yang lain. Salah satunya adalah Geger Pecinan yang terjadi pada tahun 1740.
Harsa menyentuh lengan Dyah, memberinya isyarat untuk tidak melanjutkan. “Sudah, sudah! Jangan ngomong politik, deh. Capek. Siapa pun yang berkuasa, tetap kita harus cari duit sendiri.”
“Setuju,” kata Indra.