Ningsih Haryani
"Aku tidak mungkin mati seperti ini, aku harus mengungkap semua kebenaran. Aku tidak mau kebenaran itu hilang bersama kematianku, jangan biarkan Aku dibungkam oleh orang-orang yang tidak memiliki hati nurani itu. Haruskah kebenaran ini Aku peluk dan Aku bawa bersama abuku ke dasar laut yang paling dalam dan membiarkannya hanyut tanpa arah? Mungkinkah luka ini tidak akan sembuh dan mungkinkah kami akan dilupakan begitu saja?" batin Ningsih yang tergletak lemah bersimbah darah.
Seketika bayangan masa kecilnya yang indah bermain di ingatannya.
¤¤¤¤¤
Kicauan burung pagi membuat suasana pagi semakin berwarna, langkah kaki kecilku berlari menelusuri jalan sempit di pemukiman warga.
"Ningsih, jangan berlari, Nak! Nanti Kamu jatuh," teriak ibuku.
Itulah ungkapan ibuku ketika putri kecilnya ini berlari menelusuri pemukiman yang padat itu karena dia takut jika Aku terjatuh.
Namun kali ini sang putri kecilnya itu tidak ada lagi di depan matanya, kini putri kecil itu sedang terbaring kaku di atas lantai yang dingin dan berselimutkan darah yang terus mengelir di tubuhnya.
Kini langkah putri kecilnya terhenti tanpa ada jawaban dari kebenaran yang dia cari, kebenaran yang akan diungkapnya kini tertahan di bibirnya yang kelu.
Air mata ibuku mengalir deras melihat tubuhku yang tidak bergerak dan mendapatkan perlakuan yang sangat menggenaskan, dia berpikir semua harapanku hancur bersama kebuasan sang pelaku.
Siang itu, banyak wartawan dan aktivis yang datang ke rumahku. Mereka terpaku dan terdiam melihat kejadian yang sangat mengerikan itu, kebenaran yang harusnya terungkap akhirnya terbungkam untuk selamanya. Mereka yang berani bicara, akhirnya hilang kendali dan berniat untuk menutup rapat-rapat kebenaran itu. Mereka tidak mau menjadi Ningsih yang selanjutnya, Aku hanya segelintir orang yang mengalami kekerasan itu dan berkahir pada kematian.
¤¤¤¤
Ningsih Haryani, nama yang diberi oleh kedua orang tuaku. Kini Aku berusia 17 tahun, sehari-hari Aku dipanggil Ningsih. Aku juga keturunan Tionghoa yang beragama Budha. Saat ini aku duduk di bangku SMA kelas III, Aku tinggal di daerah yang saat ini terjadi kerusuhan demo beberapa Mahasiswa dan juga para aparat negara.
Demo saat ini masih terlihat biasa saja, tapi semakin hari demo semakin brutal. Banyak fasilitas yang dirusak oleh para demontrasi dan semua yang ada di jalan raya tampak porak poranda.
Siang itu Aku pulang sekolah seperti biasanya. Meskipun kerusuhan terus berlanjut, Aku dan teman-teman yang lainnya tetap melakukan tugas kami sebagai seorang pelajar.
Kami menghindari jalan yang menjadi tempat demo, supaya kami terhindar dari serangan kerusuhan yang sangat berbahaya.
Teriakan dan seruan para demonstran terus bergema disepanjang jalan, bentrokan antar Mahasiswa dan juga aparat kepolisian tampak semakin memanas.
"Ningsih..." panggil ibuku yang terlihat dari kejauhan.
Aku berlari menghampiri ibuku. "Ada apa, Bu. Kenapa ibu ada di sini?" tanyaku pada ibu yang terlihat panik.