Semua orang pasti tahu kalau nada itu tak dapat terpisahkan dari musik. Namun, dia berbeda. Bagi cewek yang terlahir sebagai Nada, lukisanlah yang tak terpisahkan darinya. Ketertarikan Nada pada lukis-melukis mulai terlihat sejak dia berumur tiga tahun.
Waktu itu, ketika dinding rumahnya sedang dicat, Nada kecil penasaran dengan ember cat tanpa tutup. Dia memasukkan sebagian lengannya ke dalam ember. Lalu tertawa ceria lantaran tangannya berubah jadi biru. Tak sampai di situ, dia juga menempelkan telapak tangan penuh catnya itu pada dinding. Alhasil, hampir sebagian dinding rumahnya penuh akan telapak tangan mungilnya.
Di hari ulang tahun yang kelima, Nada teramat girang karena dapat hadiah satu set perlengkapan lukis dari sang papa. Papanya juga mendaftarkan dia kursus demi meningkatkan skill melukisnya. Itu membuat hari-hari Nada berikutnya selalu diisi dengan melukis, melukis, dan terus melukis.
Nada melukis dari mulai bangun tidur, sepulang sekolah, hingga saat kursus dan sebelum tidur. Saking asyiknya melukis, Nada sampai lupa makan dan berujung demam satu minggu full. Itu terjadi saat dia kelas empat SD.
“Mama bilang juga apa!” Mamanya mendengus saat menyelimuti Nada yang terbaring lemas setelah diberi obat. “Mulai sekarang, kurangin lukis-lukisan nggak jelasmu itu.”
“Mama ini,” ucap papanya yang berdiri di dekat ranjang. “Anaknya sakit malah diomelin.”
“Yang Mama lakukan ini demi kebaikan Nada, Pa.”
Tetapi saat mamanya melihat Nada lagi, dia sudah terlelap.
Dari kejadian itulah minat Nada pada seni tak mendapat dukungan penuh. Papanya memang masih mendukung, atau lebih tepatnya, dia tak mau mengekang putri semata wayangnya. Namun, mamanya cuma mau Nada menjadi dokter seperti dirinya.
Setelah kejadian itu juga waktu melukis Nada selalu dipantau oleh sang mama, membuat waktu melukisnya jauh berkurang. Dia melukis hanya saat kursus di sore hari dan malam setelah belajar. Dan itu berlangsung hingga dia menginjak bangku SMP.
Nada menganggap masa-masa SMP-nya adalah sebuah keberuntungan. Mamanya waktu itu dipercaya sebagai kepala sebuah rumah sakit. Membuatnya tak terlalu sering memantau kegiatan Nada lantaran terlalu sibuk. Begitu pula dengan papanya yang waktu itu sedang ada proyek besar. Seingat Nada, perusahaan jasa ekspedisi papanya sedang gencar merambah ke bidang ekspor-impor.
Nada pun kembali dengan rutinitas melukis yang lebih banyak dari sebelumnya. Tetapi yang dia lakukan itu berimbas pada nilai-nilai sekolahnya yang hanya menyentuh angka 80 sampai 85—nilai yang dianggap mamanya jauh dari kata standar. Sekali lagi Nada harus merelakan waktu melukis yang kembali berkurang hingga dia lulus SMP.
“SMA Pelita?” Nada mengernyit tak percaya.
Kata sahabatnya, sekolah itu terkenal dengan peraturan yang superketat. Takkan sanggup bagi Nada untuk bertahan tiga tahun di tempat menakutkan itu.
“Tapi, Ma ….” Nada mengubah air mukanya jadi memelas. Cara itu selalu ampuh untuk membuat iba orang tuanya—terutama Papa. Namun, tidak untuk kali ini.
“Nggak ada tapi-tapian.” Mamanya bersikeras. “Lihat tuh papamu. Kuliah seni nggak lulus-lulus, akhirnya banting setir buka usaha. Karena papamu tau, jadi pelukis itu penghasilannya belum tentu jelas.”
Perkataan sang mama memang benar, papanya tahu betul. Namun, tetap saja kata-kata itu menusuk sampai ke relung hatinya paling dalam. “Jangan diungkit lagi dong, Ma ….”
Mama Nada menyilang lengan, tak peduli. Sementara Nada diam saja.
“Kamu nggak ingat?” Mamanya melanjutkan, kurang puas melihat Nada yang cuma diam. “Nilai-nilaimu di SMP anjlok semua gara-gara hobi nggak jelasmu itu.”
“Papa ….” Wajah memelas itu beralih pada sang papa.