Lukisan Kematian

Adnan Fadhil
Chapter #3

ANGGOTA EKSKUL YANG BARU

Nada bukan hanya tak menyangka kalau akan satu sekolah lagi dengan sahabatnya, melainkan kalau akan kembali sekelas untuk yang ke sekian kalinya. Tentu saja, setidaknya hal macam itu dapat sedikit mengurangi rasa kesalnya. Ya, meski sempat bersemangat karena bakal ketemu yang kata papanya seniman hebat, Nada masih kesal lantaran harus masuk ke sekolah dengan peraturan yang superketat.

Namun, yang membuat Nada curiga dengan “kebetulan” itu adalah saat dia bertanya—untuk yang ketiga kalinya—alasan Wina sekolah di sini. Itu terjadi saat mereka tiba di kelas setelah balik dari kantin di jam istirahat.

“Duh! Kantinnya ramai banget. Nggak jadi deh makan bakso,” keluh Wina sembari membanting tubuh ke tempat duduknya—nomor tiga dari depan, di baris kedua dari pintu.

“Wina.” Nada masih berdiri. “Bukannya lo pengin masuk SMA 1, ya?”

Wina yang sedang mengipas-ngipas wajah dengan buku tulis bergeming. Dia memandang Nada dan berkata, “Nggak jadi,” lalu menyengir lebar. Ekspresi yang sok polos menurut Nada.

“Kenapa?”

“Ya ampun, Nada. Ini udah yang keseribu kalinya lo nanyain itu.”

“Ini juga yang keseribu kalinya lo nggak jawab pertanyaan gue.”

Wina mendesah. “Gue memang pengin di sini, kok.”

“Bukannya karena nilai lo jelek, ya?”

“Heh, mulutnya! Nggak ada akhlak.”

Mereka tertawa.

“Lagian, ya,” lanjut Wina, “sekolah ini—biar swasta—bukan cuma peraturannya aja yang ketat banget. Tapi nilai siswanya juga nggak kalah, lho. Kalau nilai gue di bawah standar, gue nggak bakal bisa keterima di sini.”

Nada setuju. Dia juga tahu itu. Mamanya tak mungkin menyuruh dia masuk sekolah ini kalau tak begitu mempedulikan nilai. Sehabis memikirkan itu, Nada hendak menggali lebih dalam lagi alasan Wina yang masih membuatnya curiga. Akan tetapi, Wina malah buru-buru mengalihkan topik pembicaraan.

“Eh, abang kelas yang tadi itu ganteng banget sumpah!” ucap Wina. “Nanti bakal ketemu dia lagi nggak, ya?”

Mulai lagi deh tuh anak, batin Nada seraya duduk di kursi sebelah Wina. Dia mendesah malas. “Yang mana seratus?”

“Yang rambutnya agak panjang itu, lho. Yang pakai jaket item.”

“Entah.”

“Yang liatin lo melulu itu.”

Nada kaget. “Hah? Kapan?”

“Lo nggak sadar?”

“Gue bahkan nggak sadar kalau lo ada tadi.”

Wina mengernyit. “Nggak lucu bercandanya.”

“Gue serius, kok.” Nada bermuka datar.

Wina menyengir. “Entar deh, gue kasih tahu kalau ngelihat dia lagi.”

Nada tak tertarik. Dia bahkan membuang muka. Bersamaan dengan itu, bel masuk berbunyi nyaring. Nada beranjak menuju tempat duduknya di bagian paling depan. Dia mendesah malas memikirkan tempat duduk itu. Bisa-bisanya gue duduk di depan meja guru begini.

***

Hari terakhir masa orientasi selesai, tetapi langit malah tak bersahabat. Awan gelap sudah mulai menjalar di atas area sekolah. Tiga hari pertama sekolah di tahun ajaran baru hanyalah masa orientasi siswa alias MOS. Tidak ada pelajaran, hanya kegiatan pengenalan sekolah yang diadakan melalui pihak OSIS.

Tidak ada juga perpeloncoan. Tetapi untuk senioritas, jangan ditanya lagi. Siswa-siswi SMA Pelita dari dulu sangat menjunjung tinggi hubungan antar senior-junor. Hubungan yang sebenarnya bertentangan dengan visi misi sekolah. Sama senior tak boleh beginilah, tak boleh begitulah. Sama senior harus beginilah, harus begitulah. Dan hal-hal macam itulah yang tak disukai Nada, yang menjadi alasan lainnya tak mau bersekolah di sini.

Lihat selengkapnya