Pertemuan dengan Yana begitu membekas dalam benak Nada. Tak kunjung hilang, hingga terbawa ke alam mimpi. Nada bisa ingat dengan jelas mimpi mengerikan itu. Dia tak tahu awal mimpinya, ketika sekelabat dia berada di ruang ekskul. Sendirian.
Nada berputar, melihat sekeliling. Tempat itu terlihat lebih berantakan dari yang dia tahu, bahkan semakin parah. Alat-alat lukis yang tadinya cuma berserakan di mana-mana kini hancur lebur. Kuas-kuas patah, kanvas-kanvas koyak, hingga cat-cat minyak mengering di hampir seluruh dinding dan lantai.
Bukan itu saja. Di sudut yang sama dengan tempat Yana tadi melukis, tergeletak tiga lukisan dari tiga wajah berbeda. Kalau perlu dicari kesamaannya, itu hanya ada pada kesuraman dan tidak adanya unsur kehidupan.
Nada mengambil salah satu lukisan, menatapnya lekat-lekat. Tercium olehnya bau anyir layaknya darah dari lukisan yang didominasi warna merah gelap itu. Tanpa sadar Nada menjatuhkannya. Namun, lututnya terasa begitu lemas ketika mata dalam potret itu tiba-tiba seperti menangis. Tetapi, bukan air mata yang keluar. Itu darah!
Nada terhuyung, tak dapat lagi menahan bobot tubuhnya yang gemetar. Bersamaan dengan dia yang terjatuh lemas, sekelilingnya berubah hitam. Nada terjaga dengan keringat yang membasahi hampir seluruh tubuh.
***
Nada hendak merenung di depan cermin seperti biasanya, mempersiapkan diri sebelum upacara Senin pagi. Akan tetapi, dia mengurung niat itu lantaran ada dua cewek sedang mengobrol di depan wastafel. Obrolan mereka kelihatan serius. Kehadiran Nada yang diam-diam saja tak mereka gubris. Nada mau beranjak dari situ, tetapi adanya kata “ekskul lukis” sukses membuatnya penasaran. Tanpa sepengetahuan dua cewek itu, dia pun masuk ke bilik paling dekat dengan jalan keluar untuk menguping.
“Lo serius? Yana masih di ekskul nggak jelas itu?” Cewek berbando biru menanggapi lawan bicaranya, cewek dengan rambut diikat satu.
Nggak jelas?! Hampir-hampir Nada naik pitam, untung berhasil dia tahan.
“Suer!” Si rambut ikat satu membalas. “Lo bayangin, deh. Siapa sih yang tahan stay di ekskul yang udah kayak kuburan itu. Kalau gue mah ogah.” Ada nada merendahkan dari perkataan itu. “Apa lagi kan … lo taulah yang gue maksud.”
Agak lama si bando biru diam sebelum melanjutkan, “Tapi gue rada kasihan sih sama dia.”
“Kasihannya kenapa?”
“Gue sering ngelihat dia kayak orang nggak tidur tiga harian gitu. Itu dia kenapa, sih?”
“Oh! Kalau itu gue juga nggak tahu.” Si ikat satu tertawa kecil.
Agak lama tak terdengar percakapan lagi.
“Eh, by the way, soal cerita yang lo mention tadi, itu beneran nggak, sih?” tanya cewek berbando biru.
Adanya penekanan di kata “cerita” semakin membuat Nada penasaran.
“Jujur, gue juga nggak begitu percaya. But, c’mon! Siapa sih yang nggak suka sama cerita begituan? Dan dari yang gue dengar nih ya, itu beneran terjadi.”
“Memang apa aja yang lo dengar?”
Nada jauh lebih penasaran. Namun jawaban pertanyaan itu takkan pernah dia dengar lantaran dua cewek tukang gosip itu tiba-tiba meninggalkan toilet dengan langkah cepat. Nada pengin tahu penyebab kedua cewek itu buru-buru pergi. Tetapi dia merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk keluar dari sini.
Alasan Nada begitu karena mendengar langkah kaki lain yang cukup pelan. Disusul dengan pintu bilik paling ujung yang terbuka. Setelah pintu itu tertutup dan bunyi “klik” terdengar, barulah Nada keluar. Meski ingin, dia tak berani mencari tahu siapa yang ada di dalam sana. Alhasil, dia pergi dengan langkah yang tak kalah cepatnya dengan dua tukang gosip tadi.
Tak jauh dari toilet, pundak Nada disambar tangan yang sangat dia kenal. Dia menoleh, lalu dengan senyum kecil menyambut Wina yang selalu ceria di hampir setiap pagi. Ralat. Hampir setiap hari (tak peduli mau pagi, siang, atau malam). Dan hari ini, keceriaan itu terlihat lebih dari biasanya.
“Kelihatannya lagi senang banget. Ada apa?”
“Tebak dong!” Sebongkah senyum masih terhias di wajah Wina.
“Duit jajan naik?”