Sembilan tahun yang lalu ….
Jemarinya yang memegang kuas begitu anggun. Geraknya pada kanvas pun begitu lembut, seperti aliran air. Meski kedua matanya terlihat letih, dia sama sekali tidak merasa lelah. Dalam waktu satu minggu saja, sudah dua lukisan yang berhasil dia buat. Bukan. Dua lukisan itu kini hampir jadi tiga. Tinggal beberapa polesan lagi. Tinggal sedikit lagi, segala hal yang dia harapkan bakal jadi kenyataan. Begitulah yang terus-menerus dia yakini.
Seseorang pernah berkata padanya. Kalau dia melukis wajah orang-orang yang dia benci—orang-orang yang selalu menyakitinya—maka mereka akan menerima ganjarannya. Lalu, air matanya mengalir saat dia teringat lagi akan kenangan buruknya akibat perbuatan mereka.
Dia, cewek berkulit pucat yang tampangnya bak orang sakit, adalah remaja berbakat seni yang bernasib malang. Bakat dan penampilannya yang “mencolok” itu berhasil mengundang remaja-remaja dengki untuk mengusiknya. Ditambah dengan background keluarganya yang rusak tetapi kaya raya, dia ibarat mangsa yang paling cocok.
“Yang kayak gini lo sebut lukisan?! Yang benar aja!” maki cewek berambut kuncir kuda sambil menunjuk lukisan karya si cewek pucat, tepat di depan mata.