Ada suatu keheranan ketika Hanindito mendapati sebuah lukisan tua tanpa warna yang tampilannya hampir tidak kentara, kanvasnya lusuh dan sedikit lecek akibat termakan waktu. Lukisan itu terpajang di sebuah tempat layaknya museum tua bernama Galeri Byakta, yang terletak di sudut Ibu Kota.
Satu lukisan persegi berukuran sekitar 200×100 cm itu entah mengapa berhasil menarik seluruh fokus Dito. Waktunya seakan berhenti, terutama ketika ekor matanya menangkap sebuah coretan paraf yang hampir tak terlihat di ujung lukisan.
"Dit."
Fantasinya melayang, pikirannya terseret masuk ke dalam keramaian di lukisan itu. Gambarnya sederhana—hanya menampilkan ingar-bingar kota pada zamannya. Namun, yang justru menarik perhatiannya adalah sosok seorang wanita berbalut dress putih dengan surai panjang yang berdiri di tengah kota. Wajahnya tak terlihat, tertutup oleh helaian rambut yang diterpa angin.
"Woi, Dito!!"
Seseorang meneriakinya. Seketika lamunannya buyar. Saat menoleh, Dito mendapati wajah temannya yang tampak keheranan.
"Nik... Nik, lo lihat ini deh," serunya, membuat Niko semakin penasaran.
"Bagus kok, bagus lukisan ini. Tapi buat bahan artikel, gue lebih setuju lukisan itu." Niko menunjuk sebuah lukisan lain—gambar kumpulan bunga teratai di atas kanvas.