Suatu hari di tahun 2018...
Bogor tengah menunggu kedatangan senja ketika seorang lelaki dewasa dengan rambut sedikit gondrong tampak fokus pada sketsanya yang belum usai. Jarinya begitu lihai bergerak di atas kertas, menggiring pensil 2B membentuk coretan kasar gedung-gedung tinggi beserta ingar-bingarnya. Rupanya, lelaki itu tengah menggambar apa pun yang ada di hadapannya, termasuk beberapa orang yang sempat lewat dan berhasil terekam dalam ingatannya.
Kursi kayu di atas trotoar seakan enggan diduduki siapa pun selain lelaki itu—bersama semua fantasinya. Tas serta barang-barangnya ia letakkan di samping, membuat tak ada lagi ruang tersisa.
“Lo tau tadi Mr. Dandi bilang apa?”
Dito menoleh, mendapati seseorang telah berdiri di sampingnya. Ia sedikit menyingkirkan barang-barangnya, memberi ruang bagi pria itu untuk duduk.
“Katanya, satu hari sebelum hari H, artikelnya harus udah dikirim. Wah, gila!” Pria itu berdecak tak percaya.
“Gapapa, masih punya waktu empat minggu, kan?” jawab Dito santai, tanpa menoleh.
Niko, pria di sebelahnya, sampai terheran-heran. “Kok lo bisa sesantai itu sih, Dit? Minggu depan aja kita baru berangkat, belum nyari objek dan idenya. Lo kira nyari ide gampang?”
Dito tak menghiraukan. Ia membiarkan Niko terus bicara sementara fokusnya tetap pada sketsa yang hampir selesai. Namun, ketika terlalu lama tak ada jawaban, Niko pun melirik ke arahnya.
“Dit?”
Dito berdeham pelan.
“Kenapa lo nggak jadi seniman aja?” tanya Niko tiba-tiba. “Skill gambar lo keren! Dibandingin sama profesi lo sekarang, yang harus pulang-pergi ke luar kota, kayaknya kalau jadi pelukis lebih gampang, deh. Lo tinggal duduk, terus kerja deh.”
Dito tersenyum kecil mendengar penuturan temannya. Ia mulai merapikan buku sketsa serta pensilnya ke dalam tas kanvas model selempang berwarna hijau lumut. Setelah itu, ia meraih kamera DSLR miliknya yang sejak tadi diletakkan begitu saja, lalu mengalungkannya di leher.
“Gak tertarik.” Jawabannya singkat, sebelum akhirnya ia memilih berlalu.
***
Hanindito Laerasatya lahir di Kota Hujan, 21 tahun silam, pada bulan Agustus. Ia berasal dari keluarga yang terbilang harmonis dan berkecukupan. Ayahnya seorang dokter gigi, sementara ibunya adalah mantan pegawai bank yang kini menjadi ibu rumah tangga. Profesi ibunya dulu kini diteruskan oleh kakaknya, Mas Nendra.
Menjadi pelukis? Bagi sebagian orang, mungkin itu menarik. Ia sudah terbiasa mendengar saran-saran seperti tadi. Orang tuanya, bahkan eyangnya, kerap berkata bahwa akan lebih baik jika ia menjadi seniman. Akan lebih baik jika ia menjadikan kemampuan menggambarnya sebagai profesi, bukan sekadar hobi.
Namun, Hanindito bukan seseorang yang serta-merta mengiyakan saran orang lain—termasuk dari ibunya sendiri.
Dito adalah seseorang yang berprinsip dan memiliki keputusan sendiri.
Meski begitu, ia juga sadar bahwa pekerjaan di bidang kepenulisan serta pemotretan ini pun belum sepenuhnya ia kuasai. Upahnya tak sebanyak gaji kakaknya yang bekerja sebagai pegawai bank. Namun, Dito tak ingin menjadi orang yang pragmatis. Ia paham bahwa selalu ada perjalanan panjang dalam setiap proses.
Dito jadi teringat kata-kata Pablo Picasso, “Semua anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana ia tetap menjadi seorang seniman setelah besar nanti.”