Lukisan Tanpa Warna

Intanaaw
Chapter #3

Lukisan Tanpa Warna

Stasiun Bogor cukup ramai pada jam segini. Di suatu Rabu, saat mentari perlahan menyingsing di ufuk timur, kereta membawa Dito dan Niko meninggalkan Bogor, bersama puluhan penumpang lainnya.

Gerbong kereta untungnya tidak terlalu padat, sehingga mereka berdua mendapatkan tempat duduk dengan posisi ternyaman masing-masing. Saat tiba di Stasiun Manggarai, kereta mulai dipenuhi banyak orang. Di Stasiun Sudirman, Dito mengalah dan memberikan tempat duduknya kepada seorang perempuan hamil.

“Terima kasih, Mas,” ucap wanita itu.

Dito hanya membalas dengan senyuman, lalu menoleh ke belakang dan mendapati Niko sudah terlelap entah sejak kapan. Dito mafhum—bangun jam lima subuh dan harus bergerak cepat demi mengejar jadwal kereta bukan perkara mudah, apalagi bagi laki-laki yang notabene tidak terbiasa bergegas seperti perempuan.

Selama perjalanan, Dito membiarkan pikirannya melayang ke mana-mana. Ia memikirkan tugas kuliahnya yang baru-baru ini dikumpulkan, lalu beralih ke artikel yang sedang ia garap, hingga terselip ingatan tentang kedua eyangnya yang tinggal di ibu kota. Kedua eyang dari pihak ibu, sementara kakek dan nenek dari pihak ayahnya sudah lama tiada.

Selepas dua kali transit kereta, lalu berganti kendaraan umum, akhirnya mereka sampai di tujuan—Jakarta Pusat. Setelah turun dari angkot berwarna biru muda, mereka mampir ke sebuah warung kecil untuk mengisi perut. Sepiring nasi dengan lauk pauk sederhana cukup mengganjal perut mereka dengan harga dua puluh ribu rupiah.

Sebelum menuju tempat tujuan utama, mereka memilih berkeliling terlebih dahulu, sekaligus memberi waktu bagi tubuh mereka untuk mencerna makanan. Jakarta terasa cukup lengang ketika mereka berjalan di trotoar. Dito beberapa kali mengabadikan momen dengan kamera DSLR kesayangannya—memotret apa saja yang menarik perhatiannya, termasuk para pengemis jalanan dan tukang becak. Semua terekam dalam memorinya.

Terakhir, Dito harus rela kameranya diisi oleh wajah Niko, karena permintaan mendesak dari sahabatnya itu.

“Dit, fotoin gue, kek.”

“Nggak, nanti rusak kamera gue,” jawab Dito santai, masih sibuk memotret langit.

“Etdah, gitu amat...” Niko memelas seketika.

Dito terkekeh sambil mengecek hasil jepretannya. Namun, akhirnya ia mengalah. Ia mengarahkan kamera ke Niko dan tanpa aba-aba, memotret sahabatnya yang sedang menggaruk rambut.

“Anyeng! Gue belum siap!” protes Niko.

Tawa Dito meledak saat ia memperbesar hasil fotonya di layar kamera. “Ya udah, ulang deh ulang,” katanya.

Niko langsung cengengesan dan berpose seolah model profesional.

“Weh, ganteng! Nanti kirim ke gue ya, Dit. Mau gue post di IG!”

***

Waktu semakin siang, matahari telah mencapai titik kulminasi. Tenaga mereka terkuras oleh panasnya cuaca. Sejenak mereka duduk di kursi kayu di pinggir trotoar, sama-sama meneguk air putih yang baru dibeli dari pedagang asongan. Keringat mengalir deras. Niko, yang sempat memakai selendang leher saat di Bogor karena udara dingin, kini malah menggunakannya sebagai kipas.

“Habis ini kita ke mana lagi, Dit? Capek gue muter-muter terus,” keluh Niko, kesal karena kipas daruratnya tak mampu mengusir panas.

“Sorry, sorry.”

Setelah meneguk air terakhir, Dito meremas botol plastik dalam genggamannya—kebiasaan yang diajarkan kepadanya sejak kecil—lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat.

Lihat selengkapnya