Lukisan Tanpa Warna

Intanaaw
Chapter #5

Paraf yang Sama

Suara ayam tetangga bersahutan dengan kumandang azan Subuh. Dito terbangun dari lelapnya saat mendengar suara sapu menyapu halaman di samping rumah. Kelopak matanya membuka perlahan. Ia tidak tahu pasti sekarang pukul berapa, tapi ia masih bisa merasakan belaian lembut di kepalanya.

“Eyang?” Dito tersentak, separuh bangun dari tidurnya. Bahkan ia tak sempat mengumpulkan nyawa dulu.

“Ada apa?”

Eyang Putri tertawa kecil. “Kok kamu tidur di sini?” tanyanya lembut.

Dito menghela napas, lalu mengucek matanya yang masih belekan. Semalam, ia sebenarnya tidur di kamarnya, tapi dengkuran Niko begitu mengganggu hingga akhirnya ia memilih pindah ke ruang tengah. Sofa jauh lebih nyaman daripada harus terjaga semalaman.

“Semalam ketiduran,” elaknya. Ia tidak mau menyalahkan siapa pun. Bagaimanapun, dengkuran itu bukan hal yang bisa dikendalikan.

Eyang Putri hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia paham betul sifat cucunya. Dito selalu hidup dalam kesederhanaan, tapi kadang keras kepala jika menyangkut pilihannya sendiri. Sejak remaja, Dito dikenal sebagai pemuda dengan pemikiran kritis. Ia mampu berpikir secara rasional dan tertata, menghubungkan ide serta fakta dengan baik. Maka, menjadi jurnalis adalah jalan yang tepat baginya.

“Sarapan, ya? Di atas meja ada bubur,” kata Eyang Putri.

Dito mengangguk dan tersenyum kecil. Ia memang bukan tipe yang banyak bicara. Bahkan, saat masih pacaran dulu, ia butuh waktu lama untuk sekadar memikirkan topik obrolan. Alih-alih mengucapkan, “Sudah makan belum?” atau “Selamat malam, mimpi indah,” ia lebih sering mengarahkan percakapan ke politik dan kebijakan negara yang menurutnya masih kurang efisien.

Soraya.

Nama itu terlintas dalam benaknya.

Dito menyukainya karena Soraya bukan tipe perempuan yang hanya bicara soal brand kecantikan atau gosip artis. Ia punya pemikiran luas. Kadang, Soraya membahas buku yang baru saja dibacanya, atau berpendapat tentang hal-hal konkret di dunia ini. Sederhana, tapi menarik.

Mereka berpacaran selama lima bulan. Hingga akhirnya, Soraya memutuskan hubungan mereka sepihak. Alasannya masuk akal. Dito terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun Soraya ingin menjalin hubungan yang santai dan apa adanya, ia tetap berharap ada momen-momen spesial—seperti kencan di akhir pekan, jalan-jalan malam di Jakarta, atau sekadar duduk berdua sambil berbincang.

Namun, waktu senggang mereka selalu tersita oleh kesibukan masing-masing. Soraya dengan kuliah hukumnya, Dito dengan tugas-tugas dan pekerjaannya. Dalam seminggu, mereka hanya sempat makan bersama sekali. Bahkan saat itu pun, salah satu dari mereka masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

Mungkin, ini yang disebut jatuh cinta sesungguhnya. Bukan sekadar nafsu, melainkan kepedulian yang tumbuh dari dua hati.

Dito tidak tahu apakah Soraya masih memikirkannya atau tidak. Tapi yang jelas, hingga kini, kabarnya Soraya belum menjalin hubungan dengan siapa pun. Entah mengapa, hal itu membuatnya merasa sedikit lega.

***

Pagi itu, Eyang Putri sempat menawari Dito air hangat untuk mandi. Namun, ia menolak. Ini Jakarta, bukan Bogor. Airnya sudah cukup panas tanpa perlu dipanaskan lagi.

Selesai mandi, ia keluar kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Saat itulah ia melihat Eyang Dharma membawa kardus yang tampak berat. Langkah lelaki tua itu sudah tidak setegak dulu.

Dito segera menghampiri. “Biar Dito aja yang bawa, Yang.”

Eyang Dharma menggeleng. “Tidak usah.”

Namun, Dito tetap mengambil alih kardus itu. Berat, entah berisi apa. “Ini mau ditaruh di mana, Yang?”

“Di meja kayu, di samping lemari kaca.”

Lihat selengkapnya