Pada buku pertama dengan sampul merah, Dito mendapati satu tulisan: Gendis—nama eyangnya. Lalu, pada buku kedua dengan sampul hitam yang jauh lebih tebal daripada buku pertama, ia melihat pada sampulnya sebuah tulisan tangan berhuruf sambung.
Tulisan lusuh itu memuat kata: Kami, 1970
***
Juli 1970
Suara alunan mesin jahit yang terdengar seirama dalam satu ruangan berhasil memekakkan telinga. Cukup untuk membuat seorang gadis harus meninggikan nada bicaranya saat berucap.
“Sudah aku bilang kan, dia itu orangnya terlalu berlebihan. Aku gak suka!” katanya dengan sorot mata kesal.
Rumi, sahabatnya yang diajak bicara, menggeleng-geleng tidak percaya. “Ya terus kamu sukanya yang bagaimana?”
Perempuan itu kehabisan kata. Ia cukup lelah dengan pendapat sahabatnya yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Belum lagi suara mesin jahit yang masih terdengar, membuatnya malas jika harus berteriak dua kali.
“Gendis! Kamu dengar aku tidak?!”
“Rumi!!”
Gendis terkesiap, membentak temannya tapi dengan suara tertahan. Ia terkejut ketika dalam hitungan detik, suara-suara dari mesin jahit di ruangan itu senyap, kecuali mesin jahit miliknya yang masih bekerja.
Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka berdua dengan sorot mengintimidasi. Seorang wanita berusia hampir setengah abad berdeham dengan suara dalam—kedengaran lebih horor daripada omelan bapaknya kemarin malam saat ia pulang kemalaman.
“Apa ada perintah untuk berbicara?!” Bu Ida, selaku guru kesenian itu, bertanya dengan nada tak bersahabat.
***
Sesi menjahit belum selesai, tapi tak disangka Gendis dan Rumi sudah diperbolehkan keluar lebih dulu. Bagi Gendis, ini merupakan hukuman, tapi bagi Rumi, ini suatu keberuntungan. Kapan lagi bisa keluar lebih cepat saat jam-jam pelajaran terakhir?
Mereka berdua akhirnya pasrah dengan apa yang sudah terjadi. Bangunan sekolah yang tidak terlalu besar dan terbilang cukup kumuh mereka tinggalkan lebih dulu. Gendis menoleh dalam langkahnya, melihat sekali lagi bangunan sekolah yang sudah mengecil karena jarak yang semakin jauh. Sebenarnya tidak terlalu rugi juga dikeluarkan ketika jam pelajaran terakhir, apalagi saat kegiatan praktik. Tidak akan berpengaruh juga saat ujian kelulusan nanti. Tapi, di luar itu, Gendis juga ingin kemampuan menjahitnya membaik.
Gendis meluruskan pandangannya setelah sempat menunduk lesu. Ia melihat Rumi berjalan sambil melompat-lompat kegirangan, menyebabkan pasir-pasir di tanah melebur akibat hentakan kakinya. Rambut panjang Rumi yang tidak diikat ikut menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya.
“Rum!” panggil Gendis.
Rumi buru-buru menghentikan langkahnya dan berbalik, masih dengan tampang bersemangat seperti sebelumnya.
“Dis, ceritain deh. Gimana bisa kamu dilamar sama cowok? Padahal bulan depan baru lulus?”
Gendis menghela napas berat. Dikira topik yang satu ini sudah berakhir, ternyata masih berlanjut.
“Ya, mana aku tahu.”
“Terus kenapa, to, gak kamu terima dia? Aku lihat kemarin orangnya cakep loh, Dis. Bawa mobil lagi.”
Ketika Gendis menoleh, ia dapati temannya itu tersenyum-senyum sendiri sembari menatap awang-awang.
Tanpa berpikir lebih lama, Gendis menyenggol lengan Rumi. “Kamu mau dia? Yaudah buat kamu saja.”
“Ya itu kalau bisa! Orang dia sukanya sama kamu.”
Kembali dalam kebisuan, Gendis memperhatikan suasana di sekelilingnya kala itu. Langit yang hampir menguning, sepasang muda-mudi naik sepeda, anak-anak kecil yang bermain layangan, lalu seorang ibu yang mengais anaknya di pinggir jalan sembari mengasongkan mangkuk.
Rasa empatinya terusik. Simpatinya membuat ia menghampiri sang ibu yang berpakaian tak layak, lalu sisa uang sakunya ia masukkan ke dalam mangkuk yang digenggam ibu itu.
Kata terima kasih terucap, Gendis hanya membalas dengan senyuman. Rumi di sebelahnya asyik bersiul, menyenandungkan lagu Melati milik Jayagiri. Sementara dirinya... tiba-tiba kembali teringat akan hari itu.
Ketika Mas Pram secara terang-terangan datang ke rumahnya dengan niat melamar.
Padahal, setahunya mereka tidak menjalin hubungan sedekat itu. Bertemu pun jarang. Sekalinya ada temu, paling hanya sekadar berpapasan di pasar. Gendis kira memberi jawaban soal usia yang terpaut lima tahun, ditambah alasan lain bahwa ia belum siap, sudah cukup. Namun, tak diduga, pria itu serta-merta malah menjawab:
“Aku akan menunggu sampai kamu siap.”
Padahal jauh dari alasan-alasan palsunya, sejujurnya Gendis memang tidak tertarik.
Usaha seorang Pramudya memang patut dipuji. Belum lagi, ia bergelar sarjana dan begitu lulus langsung diterima di perusahaan besar; mapan, tampan juga. Tapi, bukan itu yang Gendis cari.
Terlalu banyak kata-kata manis, terlalu banyak merayunya dengan kelebihan serta harta yang ia punya. Sangat jauh dari apa yang dirinya harapkan.
Namun ketika seperti saat ini, Rumi berkata: