Lukisan Tiara

wdya
Chapter #3

Keganjilan-Keganjilan

Bukan Hana namanya kalau tanpa cemilan di tangannya. Hana ini memang hobby ngemil, tidak heran dengan tubuhnya yang terlihat gempal, namun ia sebenarnya cantik. Hanya body nya saja yang gendut. Tiarapun mengakui kecantikan Hana. Sambil ia mengunyah tak henti-henti Hana mencoba menelpon Tiara melalui ponselnya. Dan sedikit kerepotan karena telunjuknya penuh dengan bumbu cemilannya. Yang ia hindari agar tidak mengotori ponselnya.

“Hallo, Tiara?” sapanya langsung setelah ia dengar suara terangkatnya ponsel milik Tiara. Nada suara Hana terdengar berpacu, seperti dikejar sesuatu.

“Iya Hana, ada apa lagi? Aku sedang melukis,” sahut Tiara dengan suara sedikit malas dan jemarinya yang masih menggoyang pelan mengulas lukisan pada kanvasnya

Hana terlihat manyun, karena ia memang hendak menceritakan kembali sesuatu hal yang kejadiannya sama dengan yang kemarin, dan ia makin lama makin merasa tidak tenang.

“Perempuan itu menelepon aku lagi Tiara, masih memakai nomor yang sama dengan yang kemarin,” jelas Hana, langsung saja pada pokok permasalahan.

“Benarkah?” tanya Tiara, seketika langsung meletakkan kuas berukuran sedang yang tengah ia gunakan untuk melukis wanita setengah baya itu. Ia makin tidak percaya dengan apa yang dikatakan Hana barusan. Matanya kemudian memandang tajam lukisan wanita setengah baya tersebut, entah mengapa itu ia lakukan, ia juga tidak mengerti. Namun pikirannya langsung saja tertuju pada lukisannya tersebut. Kenapa jadi gini? Masa iya, perempuan itu bisa berhubungan dengan lukisan wanita ini? Tanya Tiara.

“Tiara? Kenapa diam?” tiba-tiba suara Hana membuyarkan langsung pikiran aneh yang barusan masuk merasuki kepalanya. Dan hanya sugesti tentang perempuan itu. Tapi kan umur perempuan itu tidak sama dengan lukisanku ini bukan? Tiara kembali bertanya hal yang tidak masuk diakal sebenarnya, dan tetap menjadi pertanyaannya. Ini bodoh, ia merasa harus menyangkut pautkan dengan wanita yang ada dilukisannya tersebut?

“Apakah bercandaan semua ini?” Tiara bertanya ketus. Bayangannya memang pas dan hampir mirip. Sama-sama perempuan, dan tepat sekali ia melukis sosok seorang perempuan. Dan ini sama sekali tidak ia rencanakan sebelumnya hendak melukis seorang wanita setengah baya ini.

 “Hana, aku mohon jangan kamu angkat atau jawab ya, karena aku rasa mungkin itu orang iseng yang menelpon dan kurang kerjaan saja,” pesan Tiara kemudian, dan membuat Hana sedikit menarik napasnya. Meski sebenarnya ia juga masih kelihatan agak takut. Ingin mengganti nomornya seperti yang disarankan oleh Tiara, itu amat sangat disayangkan, karena ia sudah lama memiliki nomor itu. Sepertinya dia lalu mengurungkan niatnya tersebut. Untuk mengganti nomornya dengan yang baru.

Tiara sebenarnya juga masih penasaran dan lama-kelamaan membuat emosinya datang perlahan, akhirnya dia coba mendamaikan antara hati dan emosinya. Yang jika sudah meluap entah apalah yang bakalan terjadi. Apalagi hal-hal kejadian yang tidak diinginkannya itu. Sebenarnya, sebelum ada telepon perempuan itu yang menghubungi Hana, Tiara sudah sering mengalami hal yang aneh. Hal aneh itu terkait dengan lukisan-lukisannya. Yang beberapa hari belakangan ini lukisan itu membuatnya hidup di dalam pikirannya, dan ia seketika punya cerita dengan lukisannya itu. Biasanya Tiara hanya bisa cerita dasar daripada ia melukis, itu saja. Seperti contoh hendak melukis taman, dan ia akan melukiskan taman tersebut tanpa ada cerita berarti di dalamnya. Hanya lukisan sebuah taman pada umumnya. Menambahkan pepohonan, warna-warna yang agar nampak lebih alami terlihat bagaikan taman yang biasa kita saksikan kebanyakan. Hanya itu saja. Dan ia akan dengan lancar melukis memadukan berbagai warna indah melengkapi lukisannya juga berbagai macam isi di dalamnya. Kemudian jadilah lukisannya selesai.

Berbeda dengan yang ini, Tiara dibawa untuk selalu berkutat dengan lukisannya. seperti selalu ada yang kurang saja. dan pada akhirnya ia akan menambahkan kembali kekurangannya itu. Mungkin dengan menimpa beberapa warna yang menurut pemikirannya bagus untuk ditambahkan. Itu pasti dilakukannya. Bahkan Tiara sendiri tidak tau kenapa ia seperti itu?

Tiara membetulkan papan Easelnya lebih lurus agar ia bisa dengan nyaman meneruskan lukisannnya. Dengan posisi yang lebih enak. Supaya ia dapat dengan tenang melukis tanpa sedikitpun kendala yang akan mengganggunya nanti. Kembali ia mengambil Palet yang berisi cat minyak berwarna dasar, dan mulai menyapukan warna biru dongker pada kanvasnya, yaitu warna pada baju kebaya wanita setengah baya tersebut, yang mana kebaya berwarna dongkernya dipadukan dengan daun-daun kecil yang Tiara bubuhkan sedikit warna keemasan lalu menutul-nutulkan sedikit saja keemasannya. Sehingga akan terlihat menyala-nyala pada bagian kebayanya yang berwarna dongker agar tidak begitu amat gelap dengan warna biru pekatnya. Serta kesan lusuhnya sangat kentara.

Ia pun menimpa kembali menambah warna keemasannya lagi agar supaya semakin memantul, juga rambut berkonde kecil yang terlihat agak sedikit berantakan, seperti beberapa helai rambutnya tampak menjuntai acak keluar. Tiara pun membubuhkan warna abu-abu muda pada rambutnya, agar memperlihatkan bahwa memang rambutnya sudah tidak terlihat hitam lagi, dan beberapa helai rambut juga ia beri sedikit warna putih. Menandakan terlihatnya uban yang bertengger di sekitaran rambutnya yang memang sudah beruban. Dan itu nampak sekali sengaja Tiara perlihatkan. Juga keriput-keriput di tangannya sedikit ia bubuhkan warna coklat sawo matang. Dan garis-garis halusnya. Agar terlihat jelas. Pipinya yang nampak dari samping kanan terlihat jelas betapa keriputnya sudah mengelilingi wajah tua rentanya.

Tiara menghela napas panjang, masih merasakan dibenaknya bahwa lukisan itu belum begitu sempurna. Ia belum puas rasanya, seperti masih ada yang harus ia tambahkan pada setiap sisi bagiannya. Dan ia belum mau membuatnya rampung. Apalagi tapi ya? Tanya Tiara dalam hati. Meski begitu ia masih kuat mengatakan bahwa lukisannya ini masih kurang dan belum hidup. Artinya memang masih ada yang harus ia tambahkan. Padahal bisa saja lukisan itu sudah kelar, namun ia selalu mengurungkannya. Meski ia merasakan seperti begitu akrab dengan lukisan ini, sepertinya ia berbicara dengan lukisan-lukisannya. Seperti juga pada lukisan gadis berambut panjang terurai dengan gaun putih yang duduk di ayunannya seorang diri. Seolah Tiara ingin mengajaknya berbincang dan mengobrol dengannya, karena ia tampak kesepian sekali. Menangis sendiri, seperti tengah dirundung masalah dan gadis ini tidak mau menceritakannya pada siapapun. Ia hanya ingin menyendiri di atas ayunan besinya. Yang terus membawanya berayun-ayun. Begitu tema yang Tiara beri pada lukisan gadis itu.

Kembali Tiara meletakkan paletnya yang entah sudah berantakan dengan warna-warna yang sudah ia campur adukkan menjadi satu, sepertinya ia harus mencucinya sejenak dan menggantinya dengan yang baru. Tiara kemudian memijat keningnya, Tiara merasa kepalanya sedikit sakit. Mungkin ia harus istirahat sejenak, karena sudah tiga jam ia habiskan waktu memoles lukisan perempuan setengah baya itu sejak tadi. Tiara biasanya tidak akan memaksakan untuk terus melukis, karena nanti khawatir malahan jadi tidak bagus hasilnya. Makanya ia mencoba untuk beristirahat menenangkan pikirannya yang bercabang.

Ia pun segera melirik ponsel yang ada di sampingnya. Dan meraihnya kemudian mulai menghubungi Hana. Yap, Tiara ingin jalan sama Hana sepertinya ke Mall barang sebentar saja. Bukan berbelanja. Tetapi hanya jalan dan mencari sebuah inspirasi saja. Siapa tahu ia akan dapatkan di sana. Memang di mana saja Tiara pasti dapatkan. Tetapi kali ini sasarannya ia ingin sekali jalan ke pusat perbelanjaan. Mungkin ia akan dapatkan suasana yang berbeda untuk bahannya melukis.

“Hana” Tiara lebih dulu menyapa Hana, sebelum Hana menyapanya.

“Tiara? Aku baru selesai mandi, sepertinya ada yang penting nih?” sahut Hana, seolah siap akan mendengar berita baik dari Tiara.

“Iya Han, aku jemput ya? Kita ke Pondok Indah sebentar yuk? Mau kan?” Tiara langsung saja tanpa berbasa-basi banyak.

Dan memang benar, Hana langsung setuju saja, kemudian Tiara agak sedikit tersentak karena Hana langsung memutuskan sambungan teleponnya. Tiara pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Kebiasaan memang Hana, kalau sudah gitu memang artinya dia setuju dan tinggal menunggu untuk dijemput Tiara. Dan taraaaaa… pasti dia sudah siap di depan rumahnya. Tiara paham sekali kalau Hana sudah diajak untuk jalan atau kuliner makan apalagi ke Mall pasti lebih cepat gerakannya melebihi petir. Hehehehhe.

Tiara meluncur dengan tanpa hambatan menuju rumah Hana, karena kebetulan jalanan tidak terlalu macet, makanya ia lebih cepat sampai. Perlahan mobilnya memasuki jalan yang tidak begitu sempit, mungkin dua mobil saja masih bisa muat untuk berpapasan. Karena lumayan lebar. Kemudian Tiara menghentikan mesin mobilnya tepat di depan pagar rumah mungil yang bercat krem lembut, dan rumahnya sangat terlihat adem dan nyaman. Sebenarnya Tiara jika berada di situ betah saja. Hanya ia memang belum sempat bisa berlama-lama bercengkrama dengan Hana di rumahnya. Kinipun baru sempat-sempatnya hunting berdua Hana di luar untuk refreshing saja dan sekalian menjemputnya. Sambil sekaligus Tiara mencari sedikit-sedikit inspirasi yang akhirnya ia jadikan bahannya dalam melukis. Dan itu sangat diperlukannya.

Hana tinggal dengan kakak perempuannya yang sudah berkeluarga di situ. Mbak Nina yang amat ramah itu, memiliki keluarga kecil dengan anak semata wayang yang berumur lima tahun. Si ganteng Lutfi. Begitu Tiara memanggilnya.

“Sini masuk Ra, Hana masih di kamarnya,” Mbak Nina dengan ramahnya menyambut Tiara, sembari menyuapkan sesendok nasi sayur sup untuk si kecil Lutfi yang terlihat tidak bisa diam berlari-lari di taman mungil persis depan teras rumah, tepatnya tidak jauh dengan teras rumahnya. Karena rumah ini amat mungil, makanya jaraknya masih berdekatan, cocok untuk pilihan keluarga kecil bahagia. Sederhana namun nyaman ditempati.

Tiara mengangguk diikuti senyumnya juga sekalian memberi senyum untuk si kecil Lutfi yang lucu menggemaskan itu. Lutfi demi melihat Tiara datang pun sempat memberhentikan lelariannya sejenak tadi, dan memandang pada Tiara barang sesaat. Walau sudah sering melihat Tiara sebelum-sebelumnya dan sudah tidak asing lagi, tetap saja namanya juga anak kecil, penuh dengan penasarannya. Lalu melanjutkan bermain kembali sambil mengemut nasi yang tadi disuapi Mbak Nina mamanya. Juga mengambil mobil-mobilan yang dia jalan-jalankan di lantai teras dan melaju-lajukan layaknya mobil benaran.

Tidak begitu lama Tiara menunggu Hana, Hana sudah siap dan sudah rapi serta wanginya sudah tercium terbawa angin dicuaca yang masih terasa segar ini. Juga lipstik Nudenya yang paling alami yang mencoret bibir mungilnya Hana, tidak mau kalah terlihat nyata juga. Lagi-lagi tak lupa cemilan yang ada di tangannya masih setia menemani. Sayang jika tidak dibawa, masih tinggal terakhir ia harus mencomoti kripik kentang berbumbu gurih cemilan favoritnya itu. Yang kadang juga Tiara ikutan nimbrung mencoba cemilan Hana. Setidaknya, pada saat Tiara butuh ganjalan perut Hana selalu siap sedia.

“Duh, Hana cantik sekali hari ini” puji Tiara.

Hana merengut sembari manyun dan sedikit senyuman tipisnya.

“Bisa aja kamu Tiara, gendut gini dibilang cantik,”

“Siapa bilang kamu gendut?”

“Aduh, aku gak gendut. Ok, tetapi aku lebar kan Tiara? puas?” Hana semakin memajukan bibirnya beberapa centi ke depan karena kesal pada Tiara. Walau ia tahu itu hanyalah bercandaan Tiara saja.

Tiara terbahak.

“Gitu aja sensi kau Hana,” Tiara makin terbahak saja, dan dilanjut cekikikan Hana yang ikutan tertawa karena candaan Tiara.

Mereka memang selalu begitu, penuh canda. Dan Hana yang memang selalu asik untuk menjadi bahan bercandaan. Habis dia lucu, sahabat kesayangan Tiara yang selalu setia menemaninya ke manapun ia mau pergi. Meski makannya banyak, toh ia juga modal sendiri tidak merepotkan Tiara. Jangan salah juga, Hana ini meski dibilang ukuran bodynya lebar, dia itu cantik. Mungkin jika diperhatikan, lebih cantik Hana dibanding Tiara. Perbandingannya tipis-tipis saja sih. Gak banyak.

Tiara memang terlihat sedikit oriental, namun ia asli berdarah Jawa. Mamanya berasal dari kota Solo, sedang Papa Tiara asli Jogja. Nah Jawa banget kan? Entah meniru siapa, sepertinya Tiara mirip Mamanya. Mama itu putih, cantik, lembut, rambut lurus dan hidung mancung. Kata Mama, Tiara mirip kakeknya. Tiara ingat Mama pernah bilang begitu. Sepertinya kakek ada keturunan Oriental. Ah biarlah, yang pasti Tiara bangga dengan apa adanya sekarang.

Hana itu cantik, meski badannya memang dibilang gendut iya, lebar juga iya. Tetapi Hana itu setia banget, sahabat terbaik Tiara. Tidak sedikit juga sih yang menyukai Hana. Karena memang dia itu menarik. Dan Tiara sangat mengakui itu. Hana sangat ramah.

***

Tiara melajukan mobilnya dengan sangat mulus menuju jalan raya, yang mana saat itu sangat-sangat ramai dan bising. Sembari ditemani alunan lagu To Love You More milik Celine Dion mereka berdua masih terdiam. Sementara Hana masih dengan ponselnya dan tampaklah senyum-senyum yang menghiasinya ketika dia melototi ponselnya. Sedangkan Tiara konsentrasi dengan pandangan matanya untuk menyetir mobil nya agar aman-aman saja.

“Hana, sepertinya kita batalkan saja ya ke Mall, bagaimana kalau kita lihat pameran lukisan-lukisan yang ada di TIM?” suara Tiara sedang saja terdengar dan seirama dengan suara musik di dalam mobil.

“Tetapi kenapa Tiara? Eh, omong-omong kalau mau lihat pameran lukisan sih tidak apa, aku turut kamu saja lah.”

“Aku baru ingat info itu Hana, tidak apa kan?” Tiara melirik dan mengerjapkan matanya nakal ke arah sahabatnya itu supaya Hana setuju.

Dibalas dengan senyum Hana, menandakan ia setuju saja. Karena tidak mengherankan jika ada pameran lukisan, pasti Tiara tidak mau ketinggalan. Hana paham benar akan hal itu. Lagian kalau ke Mall juga Hana tahu pasti matanya tidak akan berhenti mengagumi segala sesuatunya di sana. Rasanya kepingin membeli semuanya. Padahal kan itu boros. Dan tidak mungkin juga.

Lihat selengkapnya