Lullaby Untuk Lisa

Anisha Dayu
Chapter #4

#Track 3 - Rahasia

Lisa memandang puas pada hasil karyanya. Rambut serta plester luka yang menutupi lecet di pelipisnya terlihat rapi. Untuk langkah terakhir, ia hanya tinggal menyembunyikan plester itu dengan poninya saja. 

Ketika sedang menyisir poni, mendadak ia jadi teringat tentang perkataan dokter yang memeriksanya kemarin. Dokter itu bilang, lukanya itu cuma lecet biasa karena ia tak merasakan tanda-tanda serius semenjak jatuh. Ya, paling cuma benjol yang akan sakit jika ditekan saja. Hasil pemeriksaan pun menunjukkan bahwa otaknya tak terganggu sama sekali. Karena itulah Lisa bisa langsung dipulangkan tanpa perlu dirawat inap.

Selesai dengan urusan luka, gadis itu beralih pada dasi yang tergantung di sebelah cermin.

"Lisa, kamu udah siap belum? Sudah mau jam enam, lho," tanya ibunya sambil membawa satu plastik besar berisi baju-baju tetangga yang baru selesai disetrika. "Oh, ya, mama mau anterin laundry ini dulu, ya. Kalau kamu mau makan, sarapannya udah ada di meja."

"Iya!" jawab Lisa cepat. Tanpa sadar ia mengikat dasinya asal-asalan, lalu menyambar tasnya dan bergegas menuju meja makan. Di sana sudah tersedia jatah sarapannya. Dalam waktu lima menit ia mampu menghabiskan semuanya.

Usai mencuci piring dan membereskan meja makan, Lisa pun cepat-cepat pergi menuju teras. Akan tetapi, baru saja ia sampai di ruang tamu, gadis itu terpaksa kembali lagi ke dapur karena ia lupa minum. Ketika ia tengah fokus menenggak, sosok Tirta yang baru saja masuk ke dapur membuatnya terlonjak kaget hingga menyemburkan air yang belum sempat ia telan.

"UHUK!"

Bukannya meminta maaf, Tirta malah tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk punggung Lisa yang terbatuk-batuk. Beberapa saat kemudian, Lisa yang sudah bisa bernapas dengan normal pun berteriak kesal.

"Kakak kalau masuk bilang-bilang, dong! Lisa kira tadi kakak itu setan, tahu!"

"Sengaja, kok," seloroh Tirta yang langsung dihadiahi pukulan oleh Lisa.

Gadis itu kemudian berjalan melewati Tirta untuk mengambil sepatu. Namun, baru dua langkah ia tiba-tiba berbalik karena menyadari sesuatu. "Eh, kok kakak ada di sini, sih? Nggak sekolah?" tudingnya sambil menyipitkan mata.

"Kakak mau sekolah, kok. Nggak lihat kakak udah pakai seragam?" ujar Tirta sambil menunjuk seragam yang dipakainya serta tas ransel yang menggantung di punggung.

"Bukan itu maksud Lisa!" serunya geregetan. "Maksudnya, kakak ngapain pagi-pagi ke sini dan bukannya langsung pergi sekolah, gitu."

"Kakak ke sini mau jemput kamu," kata Tirta enteng.

Lisa tersedak lagi, kali ini oleh ludahnya sendiri. "Kak, sekolah kita itu beda arah, lho."

"Terus, masalahnya apa? Kakak bawa motor. Oh, ya, Mama Nina ke mana?" tanyanya celingukan. Lisa yang melihat itu pun menatap sebal.

"Mama lagi nganterin laundry ke sebelah. Sebentar lagi juga balik."

Tirta mengangguk-angguk. Tadinya ia berniat menunggui Lisa di dapur, tapi ketika suara ibunya Lisa terdengar dari luar, pemuda itu tiba-tiba bergegas menuju teras. Lisa yang melihatnya tak mau ambil pusing. Gadis itu lalu mengambil sepatunya sebelum menyusul Tirta.

Begitu sampai di teras, ia sempat menyaksikan Tirta memberikan sesuatu kepada ibunya. Lisa tak tahu benda itu, tapi dari kejauhan sih bentuknya mirip buku ... atau majalah, ya?

Usai ia memakai sepatu, dengan rasa penasaran yang tinggi Lisa langsung mendatangi mereka berdua. "Ma, itu apa?"

Dalam sepersekian detik Lisa merasa kalau ibunya terlihat begitu kaget, tapi hebatnya, wanita itu bisa langsung mengubah ekspresinya dengan cepat.

"Cuma majalah biasa, kok," jawab ibunya sambil tersenyum. Diam-diam wanita itu menyembunyikan majalah pemberian Tirta ke belakang tubuhnya.

"Majalah apa?" tanya Lisa, terdengar lebih menuntut.

Ibunya berpikir sebentar sebelum berujar, "Masak."

Sebelah alis Lisa terangkat. Yang ia tahu ibunya tak terlalu suka memasak. Kalau pun harus, biasanya wanita itu hanya membuat makanan yang mudah dihidangkan. Sejak dulu Lisa tak pernah protes akan hal ini. Ya, meski konsekuensinya ia harus memakan makanan yang sangat monoton selama bertahun-tahun, sih. "Serius itu majalah masak? Lisa mau lihat, dong!"

Ketika Lisa ingin mengambil majalah itu dari tangan ibunya, Tirta tiba-tiba saja menyela. "Lisa, coba ke sini sebentar."

Lisa spontan menoleh ke belakang dan seketika tercekat, karena tahu-tahu, dada bidang Tirta sudah berjarak sejengkal dari wajahnya. Ketika mengangkat wajah, ia bisa melihat Tirta tengah menatapnya serius. Lisa spontan memejamkan mata rapat-rapat sambil menahan napas.

Melihat pipi Lisa yang menggembung karena menahan napas, tawa Tirta tiba-tiba meledak. "Nggak usah tegang begitu. Muka kamu jadi kayak bakpau daging. Bulet banget," ucapnya di sela-sela tawa.

Mendengar ledekan Tirta, Lisa spontan membuka mata dan langsung memukul pemuda itu. "Nggak usah ketawa, nggak lucu, tahu!" semprotnya setengah jengkel, setengah malu.

"Emang kamu ngira tadi kakak mau ngapain, hm? Kakak kan cuma lagi betulin ikatan dasi kamu. Nah, udah selesai. Dasi kamu sekarang udah rapi."

"Iya, tahu. Terima kasih," sahutnya ogah-ogahan. Untuk menutupi rasa malu, ia sengaja mengotak-atik simpul dasi yang telah dibuat Tirta sambil misuh-misuh. Lagi pula, siapa yang tidak grogi ketika ditatap cowok ganteng macam Tirta? Cuma cewek yang matanya rabun, kayaknya.

Lihat selengkapnya