Lullaby Untuk Lisa

Anisha Dayu
Chapter #5

#Track 4 - Still Remain

"Lisa ... udah dong jangan ngambek lagi. Dari tadi gue udah minta maaf, lho. Masa lo nggak maafin juga?" bujuk Rika sembari menggoyang-goyangkan lengan temannya itu. "Lo mau marah sampe kapan? Udah jam pulang, nih."

"Ya habisnya, ngatain gue bego segala. Kalau ngatain, ya, ngatain aja, sih! Nggak usah pakai bahasa yang gue nggak paham."

Rika terkikik. "FYI, itu masih bahasa Indonesia, kok. Makanya sering-sering baca kayak gue."

"Heh, gue tahu, ya. Bacaan lo itu nggak ada yang bener semua!" Lisa melengos sambil mengambil tasnya yang sengaja ia letakkan di meja belakang. Kebetulan di kelas mereka kekurangan siswa jadi ada beberapa meja yang masih belum terisi.

Tahu kalau bujukannya tak bakal mempan, akhirnya Rika mencari cara supaya teman semejanya itu mau menyudahi aksi ngambeknya. "Lisa," panggilnya sambil tersenyum licik.

"Apaan?" sahut Lisa jutek.

"Ke rumah gue, yuk. Nanti lo gue traktir martabak. Habis itu lo gue anterin pulang. Gimana, mau nggak?"

Mendengar makanan kesukaannya disebut, Lisa dengan cepat menoleh. "Oke, deal," tukasnya sembari menyalami tangan Rika. "Tapi janji, lo beneran anterin gue."

Rika tertawa. Dasar. Mudah sekali membujuk temannya itu. "Iya, nanti gue anterin. Tapi sampai halte bus aja."

Lisa seketika menggebrak meja. "Heh, tadi janjinya nggak begitu, ya!"

"Janji yang mana? Gue kan cuma bilang mau nganterin lo aja. Nggak pake diperjelas sampe mana, kan?"

Lisa seketika merasa terkhianati, sedangkan Rika terbahak puas sekali.

.

.

.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai ke rumah Rika. Rumah Rika memang tak terlalu jauh karena jaraknya hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki. Lisa sering merasa iri karena hal ini. Sebab, rumahnya itu tergolong jauh dari sekolah dan ia harus mengeluarkan sekian ribu hanya untuk pulang-pergi. Menurutnya itu pemborosan. 

Kalau boleh jujur, sebenarnya ia pun awalnya tak mau sekolah di sini. Namun, karena mantan majikan ibunya—yang notabene adalah ketua yayasan sekolah ini—memberikan keringanan biaya SPP untuknya, ditambah sekolah ini juga terkenal memiliki reputasi yang cukup bagus, dengan pertimbangan-pertimbangan itu akhirnya Lisa menyetujui usul ibunya untuk bersekolah di sini.

Omong-omong, sewaktu di perjalanan tadi sebenarnya Lisa mengusulkan untuk langsung membeli martabak saja, tapi Rika tak setuju. Temannya itu mengatakan dia harus pulang dulu untuk mengecek keadaan rumahnya. Ketika mendengar itu dahi Lisa berkerut serius. Tumben, biasanya juga ia tak pernah pulang tepat waktu karena jam segini rumahnya pasti selalu kosong. Sebab, setahu Lisa, ibunya Rika itu bekerja dan baru pulang malam, kakaknya juga sedang kuliah di luar kota, sementara ayahnya bekerja sebagai anak buah kapal yang akan pulang dalam beberapa bulan sekali.

Sesampainya di tempat yang dituju, keduanya langsung disambut oleh sebuah motor yang diparkir menghalangi pintu pagar. Melihat itu, Rika tiba-tiba saja berteriak murka, "Papa! Udah dibilangin berapa kali kalau naruh motor jangan nutupin jalan!"

Terdengar bunyi kelontang dari dalam rumah sebelum pintu terbuka. "Eh, si cantik udah pulang?" tanya seorang om-om tinggi besar dengan brewok menghiasi sebagaian wajah. "Oh, ada temennya Rika juga. Halo," sapanya dengan logat Jawa yang kental sambil tersenyum lebar.

Lisa mendadak kaku setelah disapa lelaki asing itu. "Rika! Itu siapa?!" jeritnya tertahan.

Rika mendengkus jengkel. "Dia bokap gue. Nggak usah ngomong pakai, dong!"

Lisa menoleh dramatis sambil melotot. Kalau ini sinetron, mungkin satu layar televisi sudah penuh dengan mukanya. "Hah, serius?!"

"Iya, bawel banget, lo." Rika mencibir, lalu dengan cepat ia mengalihkan atensi pada ayahnya. "Pa, kenalin, ini Lisa temen sekelas Rika."

"Oh, halo Lisa, saya papanya Rika," ucap lelaki itu seraya mengajak Lisa untuk berjabat tangan.

Lisa yang masih dipenuhi rasa kaget akhirnya menyambut jabatan tangan itu dengan gemetar. "Lisa, Om," ucapnya sambil tersenyum canggung.

"Ayo, ayo kalian berdua masuk. Nanti om siapin cemilan. Oh ya, om bawa banyak oleh-oleh," ucap papanya Rika. Ketika lelaki itu hendak melangkah masuk, Rika langsung menghentikannya.

"Papa beresin dulu motornya baru boleh masuk," perintah Rika jengkel. "Dasar. Masa hal begituan aja nggak inget-inget? Kalo mama tahu, mama pasti juga bakal ngomel. Ayo, Lisa, kita masuk duluan," ajaknya sambil menggerutu panjang lebar.

"Permisi, Om," ucap Lisa sopan ketika melewati papanya Rika. Setibanya di ruang tamu, belum sempat mereka berdua duduk, gadis itu seketika menarik lengan Rika untuk meminta penjelasan. "Itu seriusan bapak lo? Gue kira lo bawa masuk om-om ke rumah lo, tahu!"

"Eh, jangan sekata-kata kalau ngomong. Harus berapa kali gue ngomong kalo dia itu bokap gue?" balas Rika sewot.

Lisa menatap sangsi. Ini memang pertama kali baginya untuk melihat papanya Rika secara langsung karena selama ini ia selalu melihat rupa lelaki itu lewat foto. "Masa, sih? Kok kelihatan beda banget. Mungkin karena efek brewok kali, ya. Eh, betewe, kok bapak lo ngomongnya medok banget, ya? Bukannya lo nggak ada keturunan Jawa?"

Lihat selengkapnya