Lullaby Untuk Lisa

Anisha Dayu
Chapter #6

#Track 5 - Poster

Lisa menghela napas lelah. Semenjak mimpi buruknya kemarin kenapa dia jadi lebih sensitif? Ditambah lagi, kejadian di rumah Rika barusan sungguh menguras energi dan emosinya. Rasanya ia ingin minum sesuatu yang dingin dan saaangat manis untuk menjernihkan pikiran.

Ditatapnya langit sore yang mulai gelap. Ibunya pasti sudah pulang.

Setibanya di depan rumah, ia melihat lampu teras sudah menyala. Dugaannya benar. Ibunya sudah pulang. Pelan-pelan membuka pintu agar tak menimbulkan bunyi berisik. Ia mendapati ibunya tengah tertidur di sofa ruang tamu. Gadis itu pelan-pelan mendekat sambil tersenyum kecil.

Tadinya ia berniat untuk membereskan tas ibunya yang tergeletak di lantai, tapi urung saat matanya mendapati bon-bon rumah sakit yang tercecer di meja bersama dengan sebuah buku saku yang terbuka. Ia pun mengambil salah satu bon. Jumlah yang tertera di bon tersebut sukses membuat asam lambungnya naik.

Gadis itu menghela napas panjang. Ibunya memang memiliki riwayat diabetes dan darah tinggi sehingga tiap bulan ia harus membeli banyak jenis obat untuk mencegah penyakitnya kumat. Ia kemudian beralih pada buku saku. Ia menduga kalau buku itu adalah catatan bulanan sang ibu—yang selalu berhasil disembunyikan oleh ibunya.

Dia tahu mungkin tindakannya ini salah, tapi ia penasaran karena ibunya tak pernah mau terbuka soal pengeluaran mereka. Ibunya kerap berkata kalau kondisi finansial mereka baik-baik saja. Tiap kali ia ingin membicarakan ini pun wanita itu selalu mampu membelokkan percakapan mereka. Akhirnya, sebelum ibunya terbangun, ia memutuskan untuk membaca buku itu.

Ekspresinya mengeruh saat ia mendapati angka pengeluaran mereka ternyata melebihi dari pemasukan. Ternyata hasil pendapatan ibunya bekerja di toko kue, ditambah membuka jasa cuci-setrika, dan juga penghasilannya kerja part time masih kurang. Ya, dia memang sudah bisa memprediksi hal ini, sih. Apalagi, dua bulan lalu ia baru masuk SMA, pasti pengeluaran mereka makin membengkak.

Helaan napas berat lagi-lagi meluncur. Lisa lalu meletakkan buku itu ke tempat semula. Selama beberapa saat ia memandangi sang ibu dalam diam. Kerutan di wajah ibunya bertambah, tapi meski begitu kecantikannya tak berubah. Gadis itu tersenyum kecil.

"Mama, maafin Lisa," lirihnya. Pelan-pelan, ia bangkit agar tak membangunkan sang ibu. Sayangnya, baru saja ia ingin beranjak, sang ibu sudah keburu terbangun.

"Eh, Lisa, udah pulang?" tanya ibunya dengan suara serak.

Lisa terkekeh. "Kalau Lisa di sini berarti Lisa udah pulang, dong."

Sang ibu berdecak gemas. "Iya, iya. Ya udah, sana mandi dulu. Kamu udah makan belum?"

Gadis itu menggeleng kecil. "Belum—ah, tapi Lisa bawa oleh-oleh," katanya sambil mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna putih dari tas.

"Punya siapa itu? Mama nggak pernah inget punya kotak makan kayak begitu," ucap ibunya dengan dahi mengerut.

"Ini punya Rika. Tadi Lisa dibeliin martabak cokelat sama dia."

"Oh, ya?" sang ibu terlihat kaget. "Baik banget temen kamu. Kapan-kapan ajak main ke sini. Oh, jangan lupa bilang terima kasih ke dia," ucapnya sambil mengambil kotak makan itu dari tangan Lisa.

"Iya, nanti disampein. Lisa ke kamar dulu, ya," ucapnya sambil beranjak dari sofa.

Sang ibu mengangguk sambil tersenyum. Ketika Lisa telah menghilang di balik pintu kamar, pandangannya seketika meredup. Sesungguhnya ia tadi tak tertidur pulas. Meski ia tak melihat apa yang dilakukan Lisa, tapi ia masih dapat mendengar permohonan maaf anaknya itu. "Maafin mama juga, Lisa," ucapnya tanpa suara.

Di dalam kamar, Lisa langsung menjatuhkan dirinya ke kasur. Harusnya ia langsung mandi, tapi entah kenapa rasanya malas sekali. Jadinya, ia memilih untuk mandi ketika ibunya sudah mulai berteriak saja. Gadis itu kemudian menghela napas dalam-dalam sambil memandangi kedua tangan. Sampai saat ini ia masih bisa merasakan kerasnya fret serta kasarnya permukaan senar di jemarinya.

Lihat selengkapnya