Zidan berkali-kali mengepal-ngepalkan tangan di celana seragam kotak-kotaknya. Ia sadar jika kelakuannya itu bakal membuat celana kusut, tapi peduli amat, telapak tangannya sudah banjir keringat. Pasti akan sangat memalukan jika ia menyalami guru dengan tangan basah.
Selama perjalanan menuju kelas barunya, ia menghitung tiap langkah dalam hati untuk mengurangi rasa grogi. Satu. Dua. Tiga. Empat. Terus begitu sampai dia sendiri lupa, sebenarnya dia sudah menghitung sampai mana? Sebab, yang tadi muncul di kepalanya cuma angka satu sampai empat. Dasar bego! Ia kemudian mengubah metodenya dengan menyanyi dalam hati. Kebetulan yang muncul di kepalanya lagu milik Kansas yang berjudul Wayward Son.
“Nah, kita sudah sampai. Ini dia kelas baru kamu.”
Zidan melirik staf administrasi yang telah memandunya dari ruangan Tata Usaha. Wanita itu kemudian menyilakannya masuk dan mengenalkannya pada guru lelaki yang tengah mengajar.
Kelas yang semula riuh dengan diskusi mendadak berubah senyap. Zidan berdiri tegang dengan dahi yang berkerut tidak santai. Semua tatapan kini hanya tertuju padanya, terutama pada wajah yang dihiasi luka lecet serta tangan kiri yang digendong arm-sling, lebih tepatnya.
Staf wanita itu berbasa-basi sebentar dengan si guru. Tak selang berapa lama ia undur diri. Sebelum pergi wanita itu menyempatkan diri untuk menepuk pundak Zidan sambil tersenyum ramah.
“Anak-anak, mungkin kalian bertanya-tanya siapa murid pindahan yang Bapak ceritakan tadi. Ini dia orangnya. Kalian pasti udah tahu dong siapa dia?” Sang guru menunjuk Zidan dengan nada ringan, seolah ia tengah menerangkan pelajaran dan Zidan yang menjadi alat peraga.
Samar-samar bisik-bisik dari murid perempuan berdengung, terutama yang duduk di bagian belakang. Siapa yang tak mengenal Zia, si selebriti Youtube yang tengah viral itu?
Guru lelaki itu kemudian memberi ruang Zidan untuk mengenalkan diri.
Zidan mengangguk. Ia menarik napas panjang lalu berdeham pelan. Sayangnya, kata pertama yang meluncur dari mulutnya terdengar serak dan pecah, seperti ada bola bulu yang menyumbat tenggorokannya. Sial!
Kakinya mendadak dilanda tremor, terlebih saat ia melihat salah seorang cowok yang duduk di deret paling depan mendengkus geli. Di mata Zidan, ia seperti tengah mengejeknya, tapi Zidan tidak tahu saja kalau cowok itu tengah menahan bersin.
Karena tak ingin mempermalukan diri lebih jauh, ia lantas mengambil spidol, kemudian menuliskan namanya dengan huruf kapital di papan tulis.
ZIDAN ARKANA
Bisik-bisik dari calon teman-temannya makin ganas di telinganya. Saat ini Zidan berharap ia tuli agar ia tak bisa mendengar gibahan mereka.
Si guru lelaki tertawa melihat telinga Zidan yang memerah. "Kamu bisa duduk di kursi yang kosong di sebelah sana,” katanya sambil menunjuk sebuah kursi kosong yang berada deretan paling kanan baris kedua dari depan.
Zidan mengangguk. Ia melangkah menuju kursi yang disebutkan guru itu dengan enggan. Jika saja tatapan anak-anak sekelas adalah senjata, mungkin saja saat ini di punggungnya tercipta lubang yang sangat banyak. Setelah sampai, cowok di sebelahnya memanggil sambil mengenalkan diri. Zidan menanggapinya hanya dengan anggukan dan gerungan singkat.
.
.
.