Lisa pikir, hal yang pertama kali ia lihat setelah sadar adalah sosok dokter ganteng seperti di film-film, tapi nyatanya cuma langit-langit kamarnya yang dipenuhi noda bocor. Yah, jadi dia tidak dirawat di rumah sakit, nih? Padahal tadi ia sempat mengira kalau dirinya dirawat supaya ia punya alasan untuk tidak masuk sekolah. Secara, dia kan baru saja terjatuh dari lantai dua.
Gadis itu kemudian mengecek seluruh tubuhnya untuk mencari luka yang ia dapatkan. Untungnya, cuma ada satu memar biru sedang di sikunya, selebihnya ia sehat walafiat. Setelah anggota tubuh, pengecekan dilanjutkan ke bagian kepala—
"Aduduh!" ringisnya saat tangannya sengaja menekan perban di pelipis kanannya. Oh, mungkin ketika jatuh dari tangga tadi kepalanya terbentur lantai. Semoga saja lukanya ini tidak parah.
Akan tetapi, detik berikutnya ia tiba-tiba tertawa miris. Oke, kalaupun parah, ia berharap dirinya terkena amnesia supaya ia bisa melupakan kenangan buruk di masa lalu; mirip yang sering terjadi di sinetron-sinetron itu.
Karena bosan dan haus, Lisa memutuskan untuk keluar kamar. Pelan-pelan ia turun dari tempat tidur lalu berjalan menuju pintu. Di tengah perjalanan langkahnya mendadak terhenti saat suara nyanyian yang diiringi petikan gitar terdengar dari luar.
Ia terpaku sesaat. Suara itu ... ia kenal betul dengan pemilik suara itu!
Darahnya seketika mendidih. Ia membuka pintu kamar dengan beringas. Dunianya serasa runtuh ketika lelaki yang telah lama menghilang dari hidupnya menunjukkan batang hidungnya lagi. Lelaki itu tampak tak berubah. Senyum dan wajahnya masih sama seperti yang terakhir kali ia lihat tujuh tahun lalu.
"Hei, anak papa udah bangun? Kemari dong, papa kangen nih sama Lisa," kata laki-laki itu sambil menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya.
Lisa menggeram. "Pergi dari sini! Ngapain papa balik, hah?!"
Lelaki itu tersentak mendengar hardikan Lisa. Senyumnya mendadak hilang, tergantikan dengan raut muram. "Lisa ...," panggilnya seraya beranjak mendekati sang anak.
"Jangan deket-deket!" Sambil tergopoh-gopoh Lisa menghindari lelaki itu lalu berlari menuju pintu depan. "Cepet pergi!" teriaknya seraya membuka pintu lebar-lebar.
"Lisa, kamu benci sama papa, Nak?" tanya si lelaki sambil berusaha meraih lengan Lisa. Namun sayang, Lisa langsungmenepisnya dengan kasar.
"Kenapa nanya? Nggak ngerasa udah berbuat jahat? Udah lupa, gitu?"
"Lisa."
"Diam! Sekarang lebih baik Papa pergi dari sini." Lisa sudah bersiap untuk berteriak dan meminta tolong kepada tetangga jika dalam hitungan kelima lelaki itu tak keluar juga. Akan tetapi, tiba-tiba saja gadis itu mengerang hebat sambil memegangi kepala.
Melihat anaknya nyaris roboh, lelaki itu buru-buru menangkapnya. "Elisa, kamu nggak apa-apa, Nak?"
"Jangan sentuh Lisa! Lisa nggak mau dipegang sama pembohong," bentaknya sambil menyentak tangan sang ayah.
"Elisa, papa mohon, maafin papa."
Dengusan jijik Lisa terlontar. "Maafin? Papa nggak tahu kan selama ini mama sendirian banting tulang untuk membesarkan Lisa? Papa nggak tahu kan selama ini kita menderita? Tebak ini semua salah siapa? Salah papa!"
"Ya, papa tahu papa emang salah. Tapi waktu itu papa punya alasan kenapa papa harus ninggalin kalian. Sekarang papa udah pulang dan papa janji nggak akan ninggalin kamu dan mama lagi."
"Bohong!" Lisa menjerit histeris. Air mata yang sedari tadi berusaha ia tahan pun tumpah ruah. "Papa inget udah berapa lama papa ninggalin kita? Kita udah bisa bertahan tanpa papa, jangan buat luka yang udah sembuh terbuka lagi." Gadis itu perlahan merosot jatuh. Sakit yang datang bertubi-tubi di kepala dan juga hatinya benar-benar membuatnya tak berdaya.
Tak tega, sang ayah refleks memberikannya sebuah dekapan. Kali ini tak ada penolakan. Dengan tubuh lunglai gadis itupun membiarkan tubuhnya direngkuh erat. "Maafin semua kesalahan papa, Nak. Papa janji papa akan menebus semuanya dosa papa pada kalian."
Lisa tergugu. Di dalam pelukan hangat sang ayah, bahu sempitnya berguncang hebat. Segala umpatan dan cacian yang ingin ia muntahkan untuk lelaki itu mendadak tertahan di ujung lidah.
"Sshh ... udah dong, Lisa jangan nangis lagi. Papa jadi ikut sedih kalau lihat Lisa nangis," ucapnya sambil mengelus-elus lembut kepala Lisa.
Seperti sihir, usapan sayang di kepalanya mampu membuat tangisnya perlahan reda. Sang ayah tersenyum kecil dan mulai menyanyikan sebuah lagu. Ia kenal betul lagu itu. Lagu itu sering sang ayah nyanyikan sebagai pengantar tidur sewaktu ia kecil dulu.
Keheningan terjadi selama beberapa saat setelah sang ayah berhasil menyanyikan lagu itu secara utuh.
"Papa beneran nggak akan pergi lagi, kan? Papa nggak bakal ninggalin Lisa dan mama lagi, kan?" tanyanya sambil memegangi kaus sang ayah erat-erat. Sejujurnya, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, cintanya pada sang ayah masih lebih besar ketimbang rasa bencinya pada lelaki itu.
Ayahnya menggeleng pelan sambil menepuk-nepuk pelan bahunya. "Ya, papa bakal ada terus di sini sama Lisa dan mama."
Napas Lisa tercekat ketika sebuah kecupan di kening ia dapatkan. "Janji?" tanyanya sambil mengusap jejak air mata di pipi.