LUMINARA

Murasaki Okada
Chapter #1

Hanukkah Tonight: sebuah prolog


Ontario, akhir November 2011

Ia menanti hingga matahari benar-benar terbenam kemudian  bergegas ke dapur dan menyambar sebuah pemantik api dari laci. Pemuda sembilan belas tahun itu lalu bergerak ke ruang keluarga tempat menorah berlapis baja pada altar kecil dekat perapian diletakkan. Tanpa menghiraukan kedua orang tuanya yang sedang menikmati waktu luang mereka di depan televisi. Ia pun mulai menyalakan lilin dalam menorah satu per satu. Sekarang bukan sabat, sehingga cahaya lilin-lilin itu mesti dilihat juga oleh orang selain dirinya.

           Baruch atah Adonai, Eloheinn

           Melech ha’olam, asher, Kid’shanu

           B’mitzvotav v’tsivanu

           I’hadlik ner shel Hanukah[1]

Ia mulai merapal doa pemberkatan pertama dengan nada serendah mungkin demi menjaga agar hatinya tetap khusyuk. Ritual masih harus berlanjut selama tujuh hari ke depan. Adalah tanggung jawabnya sebagai anak laki-laki dalam keluarga itu untuk menyempurnakan Hanukkah.

Baruch atah Adonai, Eloheinu Melech

Ha’olam, she-asah hisim, la’avoteinu

Bayamin hahem, bazman hazek[2]

Ia tidak peduli bahkan ketika tak ada seorang pun lagi dalam keluarga itu yang menaruh perhatian pada ibadah mereka. Sang ayah pernah dengan sesumbar bersumpah bahwa dirinya tidak lagi ingin terlibat dengan segala tradisi leluhurnya. Bahkan sebelum ia memboyong istri dan anaknya dari Yerusalem ke Kanada, lelaki itu telah melepaskan diri dari akar Yahudinya. Sementara sang ibu sedang keranjingan dengan kegiatan komunitas barunya bersama para penganut Mormon. Sedangkan kakak perempuan semata wayangnya, meski tampak masih menaruh sedikit perhatian pada ajaran Yahudi, tetapi jelas bahwa iman gadis itu perlahan menyimpang.

“Bisa dibilang aku seorang agnostik sekarang.” Ujar sang kakak suatu hari. “Aku mungkin masih percaya pada entitas Tuhan, tapi aku tidak mau dikaitkan dengan ajaran agama manapun.”

Memang benar bahwa iman perempuan sangat lemah. Pemuda itu membatin penuh amarah. Ibu dan saudara perempuannya adalah bukti yang tak bisa dipungkiri. Ayahnya, betapapun pemuda itu berusaha mengerti bahwa sang ayah masih berada dalam fase pengingkaran pasca tragedi yang menewaskan kakak sulungnya beberapa tahun silam, namun cara ayahnya meninggalkan ibadan dan tradisi semakin lama semakin membuatnya kehilangan kesabaran dan belas kasihan.

Lihat selengkapnya