Eryndor adalah negeri yang selalu bermandikan malam. Langitnya pekat, dipenuhi awan kelabu yang tak pernah terbelah oleh cahaya mentari. Tak ada fajar yang menyibak kegelapan, tak ada senja yang indah di ufuk barat. Malam adalah satu-satunya waktu yang dimiliki dunia ini—malam tanpa henti, malam yang panjang, malam yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.
Di negeri ini, orang-orang terbiasa hidup dalam kegelapan. Mereka menyalakan obor, menggantung lentera, dan menaruh kristal-kristal kecil bercahaya di sudut-sudut kota. Namun, cahaya itu hanyalah serpihan dari sumber yang jauh lebih agung: Lumora, kristal purba yang disimpan di Menara Kuil Tertinggi. Konon, Lumora adalah jiwa dari bintang pertama, sisa cahaya terakhir yang masih bertahan ketika matahari padam.
Orvas, ibu kota Eryndor, berdiri megah di tengah lembah luas, dikelilingi tebing hitam menjulang. Kota itu tampak seperti pulau cahaya di tengah lautan malam. Dari kejauhan, cahaya keemasan yang memancar dari Menara Kuil Tertinggi menjulang laksana mercusuar, menjadi penuntun bagi seluruh negeri. Semua orang percaya: selama Lumora tetap bersinar, Eryndor akan bertahan dari kegelapan abadi.
Namun, meski cahaya itu menenangkan, bayangan selalu hadir di setiap sudut. Di lorong-lorong sempit, di hutan-hutan luar kota, hingga di dalam hati manusia, kegelapan selalu menunggu. Orang-orang menyebutnya Bayangan Abadi—makhluk tanpa bentuk pasti, yang konon lahir dari kebencian dan rasa putus asa manusia di masa lalu. Mereka hanya muncul di malam yang benar-benar pekat, ketika cahaya Lumora redup, dan setiap kemunculannya selalu meninggalkan jejak kematian.
Arden, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, berdiri di atap rumah tuanya. Angin malam bertiup dingin, membawa aroma debu dan tanah lembab. Dari sana, ia bisa melihat puncak Menara Kuil yang berkilau jauh di kejauhan. Matanya terpaku pada cahaya yang berpendar, cahaya yang selalu membuatnya bertanya-tanya: mengapa aku merasa begitu dekat dengannya?
Sejak kecil, Arden sering bermimpi tentang cahaya itu. Dalam tidurnya, ia melihat sebuah bintang jatuh ke bumi, menyinari padang luas dengan warna emas yang hangat. Kadang ia mendengar suara samar, seolah-olah ada sesuatu yang memanggilnya dari balik cahaya. Namun setiap kali terbangun, ia hanya menemukan kegelapan yang sama, dan kesepian yang tak pernah hilang.
Arden adalah seorang yatim piatu. Ayah dan ibunya meninggal ketika ia masih bayi, korban dari wabah misterius yang melanda Orvas. Sejak itu, ia tinggal sendirian di rumah peninggalan keluarganya, di tepi distrik miskin. Rumah itu kecil dan rapuh, dinding kayunya mulai lapuk dimakan waktu, namun Arden tetap bertahan di sana. “Itulah satu-satunya peninggalan mereka,” begitu selalu ia katakan pada dirinya sendiri.
Malam itu, ia menatap Lumora lebih lama dari biasanya. Ada kegelisahan di dadanya, semacam dorongan yang sulit ia pahami.
“Arden!” suara seorang gadis memanggilnya dari bawah.
Ia menoleh, melihat sosok Lyra berdiri di jalan sempit depan rumahnya.
Lyra adalah sahabatnya sejak kecil. Rambut hitamnya tergerai panjang, matanya berkilau seperti batu permata di malam gelap. Ia berasal dari klan kuno para penenun sihir—kaum yang mampu merajut benang cahaya menjadi mantra pelindung. Namun di Orvas, kemampuan seperti itu jarang digunakan secara terang-terangan. Orang-orang kota lebih mengandalkan penjaga kuil, para Luminari.