Lumora

AndikaP
Chapter #2

Anak Yatim di Kota Gelap

Orvas selalu tampak lebih sunyi setelah serangan Bayangan. Malam yang biasanya riuh oleh suara pedagang, musik jalanan, dan tawa anak-anak di lorong, kini berubah mencekam. Obor-obor berkelip lemah, menyoroti jalanan berbatu yang lengang. Hanya terdengar suara langkah terburu orang-orang yang masih berusaha pulang ke rumah masing-masing.

Arden berjalan bersama Lyra menuju distrik tempat tinggalnya. Lonceng kuil masih terdengar sayup, tanda bahwa para Luminari sedang menyisir kota. Biasanya, setelah lonceng berhenti, orang-orang tahu bahwa ancaman sudah berakhir. Namun malam itu, bahkan setelah dentangan mereda, rasa takut tak juga hilang dari hati warga Orvas.

Lyra beberapa kali menoleh ke arah Arden. Wajah pemuda itu pucat, matanya kosong seolah masih memikirkan kejadian di atap rumah tadi.

“Kau baik-baik saja?” tanya Lyra pelan.

Arden tidak langsung menjawab. Ia menatap tangannya, seolah mencari jejak cahaya yang tadi muncul di dadanya. “Aku tidak mengerti… Kenapa cahaya itu keluar dariku? Apa sebenarnya aku ini, Lyra?”

Gadis itu menggigit bibirnya. Ia pun bingung. “Mungkin… itu ada hubungannya dengan Lumora. Kau selalu bilang merasa dekat dengannya, bukan?”

Arden menghela napas panjang. “Tapi kenapa aku? Aku bahkan bukan siapa-siapa. Aku hanya anak yatim piatu yang tak punya apa-apa.”

Lyra menghentikan langkahnya. “Jangan pernah bilang kau bukan siapa-siapa, Arden. Kau punya aku. Kau punya keberanian. Dan tadi… kau menyelamatkanku. Itu bukan hal kecil.”

Arden menatapnya sejenak. Ada sesuatu dalam tatapan Lyra—sebuah keyakinan yang kuat, seolah ia benar-benar percaya pada Arden lebih dari siapa pun. Namun Arden hanya menunduk, tak mampu membalas.

Mereka tiba di distrik miskin, tempat rumah-rumah reyot berjajar rapat. Dinding kayu lapuk, atap yang bocor, dan jalan sempit yang becek menjadi pemandangan sehari-hari. Di sini, cahaya dari Lumora hanya tampak samar, nyaris tertelan kegelapan.

Arden berhenti di depan rumah kecil peninggalan orang tuanya. Pintu kayu itu berderit ketika ia membukanya, memperlihatkan ruangan sederhana dengan meja tua, kursi reyot, dan perapian yang jarang menyala.

“Masuklah,” katanya pada Lyra.

Gadis itu menatap sekeliling dengan ragu. “Sudah lama aku tidak ke sini… masih sama seperti dulu.”

Arden tersenyum tipis. “Aku tidak punya banyak yang bisa diubah. Rumah ini mungkin rapuh, tapi tetap rumah.”

Lihat selengkapnya