Mata Adel mengerjap-ngerjap. Masih terasa berat untuk membuka sepenuhnya. Baru menjelang subuh ia benar-benar terlelap, kepalanya dipenuhi oleh pesan-pesan Whatsapp dari teman-teman dan WA call dari Erin selain memikirkan cara menghubungi Ibu yang ponselnya belum aktif juga. Sinar matahari terlihat berusaha menembus gorden membuat kamarnya temaram. Namun, hangatnya belum terasa walaupun pendingin ruangan sudah dimatikan sejak sebelum ia terlelap tadi. Beberapa hari ini udara Bandung memang lebih dingin dan sekarang makin terasa menggigit karena sinar di hati Adel sedang meredup. Ia melirik jam dinding sambil menguap. Jarum pendek belum tepat di angka tujuh. Pantas saja kelopak mata seolah bermagnet, saling menarik untuk menutup lagi.
Kening Adel agak mengerut, mengingat-ingat apa yang membuatnya terbangun. Tiba-tiba ia mendesis. Perutnya serasa diperas. Ia baru ingat tadi malam tidak sempat makan. Ia harus segera sarapan jika tidak ingin magnya kambuh. Namun, tubuhnya tak bergerak tetap berselimut rapat seperti juga hatinya yang ingin bergelung di sudut dada.
Perasan kedua di perut akhirnya memaksa Adel turun dari ranjang. Terseok-seok ia mendekati meja panjang tempat makanan dan serbuk minuman cokelat disimpan setelah menyalakan lampu. Ia membuka tempat granola begitu sampai di sana dan mendecak melihat tempat itu kosong. Baru ingat kemarin sebelum berangkat wawancara, ia memberikan sisa granola yang masih cukup banyak kepada Pak Eko, salah satu satpam. Tiga hari ini, ia sedang ingin sarapan roti, bosan dengan granola yang dibelinya sekitar sepuluh hari lalu. Sebetulnya sekarang pun Adel masih bosan dengan granola, tetapi ia tahu roti bisa membuat perutnya makin melilit. Ia mendecak kedua kalinya ketika melihat tempat serbuk cokelat kegemarannya juga kosong. Ia lupa membeli stok lagi karena tadi siang hingga sore keasyikan mengobrol dan berbelanja dengan Nyai Hebringers.
Aroma nasi goreng yang samar-samar menyapa penciuman membuat Adel menoleh ke pintu. Ia hampir melangkah ke kamar mandi untuk cuci muka dan bermaksud ke dapur kotor di bagian belakang rumah utama, tak jauh dari kamarnya, tetapi batal. Ia ingat sebagian besar penghuni indekos ini, termasuk dirinya, penggemar nasi goreng buatan Mbak Usi, salah satu dari tiga asisten rumah tangga Ibu Kos. Malas rasanya bertemu Icha apa lagi Vanda di sana.
Adel melirik ke arah ponsel di meja rias. Tak ada pilihan lain, ia pun meraih dan menghidupkan ponsel itu. Seperti dugaannya, berpuluh-puluh pemberitahuan pesan Whatsapp dan WA call tak terjawab masuk berturut-turut begitu ponselnya menyala. Namun, ia sudah bersiap-siap. Adel tak memedulikan semua itu dan langsung membuka aplikasi ojek online untuk memesan sarapan. Tak ingin berlama-lama menatap layar ponsel, ia memesan bubur Mang Ijot yang cukup terkenal dan berlokasi tak jauh dari indekosnya. Ramah untuk perut yang sedang melilit dan tidak terlalu mahal. Mulai saat ini ia harus mengencangkan ikat pinggang dalam pengeluaran terutama dalam hal-hal yang tidak terpantauan banyak orang. Walaupun dana untuk kehidupan sehari-hari masih tersedia di rekeningnya, tetapi jika ia tidak mengubah kebiasaan itu, bisa tidak sampai ke masa gajian dari pekerjaan barunya nanti.
Adel kembali berbaring di ranjang dengan ponsel di tangan ketika urusan memesan sarapan selesai. Ia menatap layar ponsel yang lagi-lagi memunculkan pemberitahuan pesan masuk. Ia ingat akan Ibu dan segera mencoba menghubungi beliau kembali. Namun, hasilnya masih sama, membuatnya menghela napas dalam.
Tiba-tiba pemberitahuan WA call masuk dengan nama yang membuat mata Adel membesar. Heru Rediansyah. Ini adalah pertama kali Ayah Redi menghubunginya sejak … ia memejam, tak ingin mengingat-ingat itu lagi. Ada yang menusuk-nusuk di dada setiap itu terjadi. Beliau orang terakhir yang ingin Adel hubungi di bumi ini. Itu pun jika tak ada pilihan lain. Pemberitahuan WA call kedua terdengar lagi dari orang yang sama. Ia tetap bergeming menatap layar. Tusukan di dada makin intens. Sekali lagi nama itu muncul, jari-jari Adel siap memblokirnya. Namun, ternyata setelah pemberitahuan WA call kedua berakhir, nama itu tak terlihat lagi.
Adel jadi teringat, pemblokiran dua nomor yang dilakukannya tadi malam. Nomor Erin dan Bara, teman kuliah laki-laki yang kerap membuatnya tak nyaman. Ia merasa terganggu oleh tingkah laki-laki itu saat berdekatan. Yang membuat makin kesal, Bara juga sering minta dibayari jajanan atau fotokopian. Ia jadi menduga laki-laki itu tak punya modal dan segera menempatkan Bara di luar daftar mereka yang boleh menjadi teman baiknya.
Talitha sempat mengingatkan agar tidak terlalu sinis setiap berinteraksi dengan Bara ketika ia mengeluh atas gangguan laki-laki itu. Sayangnya, Adel malah tersinggung dan menjauh dari teman kuliah perempuannya itu. Padahal Thalitha termasuk segelintir teman dekatnya saat kuliah. Sejak itu, setiap melihat sosok atau mendengar nama Bara diucapkan, radar di kepalanya mengingatkan untuk segera menghindar. Selain merugikan keuangannya, ia menganggap laki-laki itu menjadi salah satu penyebab merenggangnya pertemanan dengan Thalitha. Namun, entah kenapa tetap saja beberapa kali masih bertemu dan mengharuskan ia berinteraksi dengan laki-laki itu.
Adel tak pernah lupa pertemuan terakhir dengan Bara di awal bekerja. Waktu itu ia sedang duduk menunggu hujan reda di kafe di lantai dasar gedung tempatnya bekerja.
“Adel?”
Sapaan seseorang membuat Adel mendongak dari ponsel. Alisnya naik begitu melihat Bara tersenyum dan langsung duduk di hadapan. Ia ingin berdiri dan pergi meninggalkan kafe, tetapi hujan belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti.
“Apa kabar, Del?”
Adel berusaha menaikkan sudut-sudut mulutnya saat menjawab, “Eh, baik.”