“Cinta, maaf ya. Tadi tuh, perutku kosong, mana lagi banyak deadline di kantor, jadi gampang emosi. Aku tetap sayang sama kamu. Kamu percaya, kan?” Setelah piring-piring yang nyaris kosong diangkat pramusaji, Panji meraih jemari Adel. Ia menatap perempuan itu sambil tersenyum tipis. Terpantau kelelahan di wajahnya, membuat Adel percaya.
Adel mengangguk pelan dengan senyum tertahan. Ia merasa antara lega dan khawatir. Ia lega karena Panji sudah kembali bersikap seperti biasa. Tekanan di kalimat terakhir salah satu buktinya. Walaupun diucapkan sebagai kalimat tanya, tetapi nadanya seolah tak ingin mendengar jawaban “tidak”. Ia juga khawatir karena saat makan sering memergoki Panji meliriknya dengan berbagai ekspresi: kecewa, kesal, curiga, bahkan sinis. Adel tidak bisa menebak apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Ah, bukankah selama ini ia memang belum mengenal sang kekasih lebih dalam. Mereka jarang bertemu karena Panji sibuk bekerja di perusahaan papanya. Katanya ia sedang ditempa agar kelak siap saat menggantikan Papa.
Komunikasi dilakukan melalui pesan dan WA atau video call. Itu pun tidak setiap hari. Panji mengatakan sering kelelahan ketika sampai rumah seusai bekerja sehingga ingin cepat beristirahat. Tentu saja Adel tak berani meminta perhatian lebih. Ia juga tidak berani menolak setiap kali Panji meminta sesuatu darinya, kecuali menceritakan kondisi keuangan dan hubungan dengan keluarganya, serta kesuciannya.
“Kamu gimana, Cinta? Sayang enggak sama aku?” Ini bukan pertama kali Panji bertanya hal tersebut. Namun, kali ini Adel mendengar nada suara laki-laki itu berbeda. Biasanya sang kekasih melontarkan pertanyaan tersebut dengan nada menggoda, sekarang Adel merasa ada nuansa sinis di sana. Apa Panji tidak percaya kalau ia juga sayang kepada laki-laki itu? Memang mereka belum lama kenal, tetapi sebulan ini ia benar-benar jatuh cinta pada Panji.
Sebelum Adel mengangguk lagi, Panji melanjutkan, “Jawab dong, jangan cuma ngangguk aja. Aku pengin dengar suara kamu.”
“Sayang kok. Aku juga sayang kamu.” Pelan Adel menjawab.
“Aku enggak percaya.”
Mata Adel membulat. Bukan karena kalimatnya, karena beberapa kali Panji berkata seperti itu dalam rangka menggoda dan meminta Adel membuktikan dengan memeluk laki-laki itu. Sekarang, Adel merasa nada sinis makin kuat di ucapan kekasihnya.
“Kalau kamu ingin aku percaya, kamu harus buktikan.”
Buktikan dengan cara apa? Memeluknya seperti biasa? Adel tidak keberatan bahkan di tempat umum sekalipun seperti saat ini.
Panji memejam dan kedua tangan menutupi hidung serta mulut saat menguap. “Aku capek banget. Mau tidur di sini aja.”
Mata Panji membuka dan menatap Adel tajam. “Buktikan kata-katamu tadi, Del. Temenin aku tidur di sini.”
Mata Adel makin membulat, sekarang ditambah dengan napasnya yang sejenak tertahan.
“Aku enggak akan pernah menikah sama perempuan yang enggak serius menyayangiku.” Suara Panji sangat pelan, tetapi bagai topan yang mengoyak lautan di dada Adel. Mata Adel segera memancarkan ketakutan akan kehilangan. Panji tidak boleh meninggalkannya. Berita laki-laki itu akan melamarnya bulan depan pasti sudah tersebar ke kerabat maupun tetangga. Apa kata orang nanti, terutama Ayah Redi? Ia tak ingin menjadi bulan-bulanan laki-laki paling dibencinya saat ini.