Adel menghentikan langkahnya sejenak sebelum berbelok menuju pintu belakang. Matanya menyapu cepat memantau keadaan sekitar. Setelah tidak melihat siapa pun, ia melanjutkan langkahnya lagi. Ia sengaja memilih masuk dari belakang karena lebih dekat ke kamar Ibu dibandingkan dari depan, selain orang rumah jarang berada di belakang kecuali Bi Iyam dan Bi Ayi, dua asisten rumah tangga serta Mang Asep, sopir merangkap tukang kebun. Ibu punya kamar sendiri di lantai bawah yang biasa digunakan saat istirahat di siang hari atau ketika sakitnya kambuh. Kamar Ibu dan Ayah Redi ada di lantai atas berhadapan dengan kamarku yang bersebelahan dengan kamar Erin.
Semeter dari pintu, ia mendengar dua orang sedang bercakap-cakap pelan hampir berbisik di dapur kotor. Adel hapal dengan suara keduanya. Yang perempuan pasti Bi Iyam, asisten rumah tangga Ayah Redi yang sudah bertahun-tahun mengabdi. Satunya lagi Mang Asep yang tiga tahun ini menggantikan sopir dan tukang kebun lama. Langkahnya makin pelan karena terasa makin berat. Ia mulai curiga harapannya menjauh. Keberadaan Mang Asep menandakan Ayah Redi ada di rumah.
“Jadi itu yang bikin Bapak marah-marah dari pagi, Mang?”
“Iya, Bi. Neng Adel mah bikin masalah melulu.”
Tangan Adel batal meraih pegangan pintu. Saluran pendengarannya seolah melebar beberapa inci ingin mendengar lebih jelas apa yang mereka bicarakan.
“Kasihan Ibu, sakitnya jadi kambuh lagi dengar kabar itu. Padahal kemarin udah baikan.”
Mata Adel meredup. Ibu sakit? Dan kabar aku yang menyebabkannya? Kabar apa?
“Sakit kemarin juga Neng Adel yang bikin ya, Bi? Katanya dapat WA dari apa tuh? Jol, jol gitulah.”
“Pinjol, Mang, pinjol. Iya, sampai Bapak nyembunyiin HP Ibu biar enggak baca lagi WA-nya.”
Adel memejam. Hatinya mengerut seketika karena merasa bersalah. Pantas saja setiap ponsel Ibu dihubungi tidak pernah aktif.
“Kenapa Neng Adel enggak disuruh pulang ke sini aja, ya? Biar masalahnya cepat diberesin.”
“Kata Neng Erin pas kemarin pulang sih, HP Neng Adel enggak bisa dikontak, Mang. Diapain gitu HPnya Neng Erin sama Neng Adel.”
“Tuh, nya. Neng Adel mah bikin masalah melulu.”
Rahang Adel mengeras, keinginan kembali saja ke indekosnya mulai muncul. Namun, bayangan Ibu yang terbaring tak berdaya mengalahkan itu. Ia membuka pintu sambil mengucap salam dengan nada kaku.
“Wa’alaikum salam. Eh, Neng Adel. Ke mana aja, Neng? Lama enggak pulang.” Agak tergagap-gagap Bi Iyam menjawab salamku. Ia melirik Mang Asep beberapa kali dengan canggung.
“Ibu di mana, Bi? Di kamar bawah?” Adel malah balik bertanya. Suaranya terdegar agak bergumam karena terhalang masker. Ia tidak berani membuka masker itu khawatir membawa virus ke rumah ini. Di rumah ini ada Ibu yang sudah sakit-sakitan.
“Iya, Neng. Di kamar bawah. Tapi mungkin lagi istirahat. Bapak suka marah kalau sampai istirahat Ibu keganggu. Bibi lihat dulu, ya?” Bi Iyam berdiri menghalangi jalanku menuju ruang tengah di mana kamar Ibu berada.
Adel mengangkat kedua alisnya. Ia tidak terima diperlakukan seperti itu. Ia anak kandung Ibu, kenapa diperlakukan seolah tamu yang bukan siapa-siapa Ibu?