“Del! Rin! Taksi online-nya udah ada!” Terdengar teriakan Icha yang tertahan masker begitu ia muncul di ambang pintu kamar indekos Adel diikuti Pak Eko. “Mana aja barang-barang yang mau diangkut sekarang?”
Erin segera menunjuk beberapa dus berisi barang-barang keperluan sehari-hari kakaknya. Sebagian barang-barang yang tidak terangkut hari ini dititipkan dulu di kamar Icha. Sejak kemarin seusai makan siang, Adel dibantu Erin sudah mulai membereskan barang-barang tersebut. Begitu sang kakak menyetujui tawarannya, Erin langsung semangat mengatur berbagai hal agar kepindahan Adel hari ini berjalan lancar. Hal ini membuat sang kakak ikut bersemangat. Rasa lemas jadi berkurang. Erin sampai mengingatkan Adel saat melihat sang kakak tidak beristirahat setelah satu jam mereka beres-beres. Karena adiknya memaksa, akhirnya Adel lebih banyak duduk sambil menunjukkan tempat barang-barang yang perlu segera dibawa ke indekos Erin.
Sejak pukul enam pagi tadi, Erin sudah ada di indekos Adel. Padahal ia baru meninggalkan indekos kakaknya itu mendekati tengah malam. Adel sendiri sudah tidur sejak pukul sembilan malam atas bujukan adiknya. Kali ini Adel sudah lebih segar setelah semalam tidur nyenyak karena satu masalah paling penting sudah teratasi walaupun sementara. Mereka sempat sarapan nasi goreng buatan Mbak Usi bareng sebelum melanjutkan aktivitas beres-beres.
“Teh, kemarin Erin nemuin pisau buah di karpet dekat rak itu.” Erin menunjuk rak pendek dengan dagunya. “Terus ada pengasah pisau di rak. Teteh abis ngasah pisau?”
Adel berhenti mengunyah. “Iya.” Kemudian ia diam beberapa waktu mempertimbangkan apakah perlu bercerita bahwa pikirannya buntu dan nyaris mengakhiri hidup dengan memotong nadinya.
“Rajin amat. Padahal enggak ada buah-buahan. Memang buat motong apa?”
“Yaaa, biar siap pas buahnya ada. Jadi bisa langsung ngupas dan motong.” Adel memutuskan untuk tidak bercerita. Ia belum siap menceritakan lebih banyak tentang dirinya kepada Erin. Lagi pula sekarang ia sudah tak ada keinginan melakukan itu.
“Beneran?” Padangan Erin terasa menyelidik. “Bukan buat motong yang lain?”
"Memang menurut kamu buat motong apa? Namanya pisau buah, ya buat motong buah.” Suara Adel agak meninggi.
“Ya, syukurlah, kalau memang maksudnya begitu. Erin cuma ….” Erin tidak melanjutkan kata-katanya karena terdengar ponselnya berbunyi dan ia menerima WA call itu. “Assalamu’alaikum, Kak!”
Adel menoleh ke arah Erin bertepatan dengan sang adik meliriknya.
“Iya, udah di kosan Teh Adel.”
Adel menaikkan alis seolah bertanya “siapa?”.
Erin tersenyum sambil berkata kepada peneleponnya, “Enggak apa-apa, bisa kok berdua juga. Enggak terlalu banyak barang yang perlu dibawa hari ini. Nanti aja bantuin kalau udah balik ke sini, pas ambil sisanya.”
Adel mulai menebak siapa si penelepon.
“Iya, Kakak juga ya, take care.”
Dan yakin ketika Erin menutup percakapan dengan, “Love you, too.”
Pasti pacarnya. Wajah Adel agak meredup karena ingat ia baru saja kehilangan kesempatan untuk bisa ke pelaminan lebih dulu dari Erin.
“Salam dari Adrian, Teh.”
Adel tersenyum berusaha menutup kesedihannya. “Adrian jadi mau ngelamar dua bulan lagi?”
“Insyaallah. Teteh enggak apa-apa, kan?” Erin menatap Adel dengan pandangan menyelidik. Kemudian cepat ia melanjutkan, “Lagian rencana nikahnya masih enam bulan lagi dari lamaran, Teh. Moga-moga Teteh dapat jodoh sebelum itu.”