Luruh Lebur Reda Rasa

Serasa Sarasa
Chapter #2

Part 1: Kala itu di Ruang Tunggu Stasiun

Pagi itu cuaca mendung, seolah ikut merundung kelelahan, kekesalan, dan amarah yang kupendam diam-diam. Tapi aku tetap berjalan menuju stasiun. Mencari kereta mana saja—asal menjauh, asal bisa membawaku pergi.

Setiap langkah terasa hampa. Ada rasa takut, memang. Tapi sesak yang sudah menahun mendorongku untuk tetap melangkah.

Dengan pikiran yang kusut, aku membeli tiket secara acak—tanpa tahu pasti akan ke mana. Naif, barangkali. Tapi kupikir aku bisa berdiri tegak di mana pun aku berlabuh.

Di ruang tunggu stasiun, bangku-bangku besi bercat hijau nyaris penuh. Hanya tersisa satu deret bangku di depan kotak pengisian daya. Letaknya terhimpit, berhadapan langsung dengan tiang beton besar.

Posisi yang tak menarik. Mungkin karena itu tak ada yang mau duduk di sana. Tapi aku duduk di situ, karena aku tidak sedang mencari kenyamanan—aku hanya sedang butuh tempat untuk diam.

Kutatap layar ponsel, meski tak ada notifikasi yang masuk, tak ada satu pun yang mencariku. 

Entah berapa lama aku di sana, hingga akhirnya seseorang duduk di sampingku.

Kupikir semua orang menganggapku semacam kuman atau badut mengerikan—tak ada yang mau sebangku denganku. Refleks, aku menggeser dudukku ke pojok kiri. Berusaha mengecilkan diri, agar tak terlihat terlalu mengambil tempat.

Dari ujung mataku, kulihat ia masih muda. Barangkali usianya satu atau dua tahun di atasku. Pakaian sederhananya—kemeja flanel dan celana hitam lusuh—membuatnya terlihat seperti mahasiswa tua yang terlambat lulus.

Rambutnya agak gondrong. Ia sibuk membuka ransel, lalu mengambil sebuah buku. Komik, rupanya.

Sambil membaca, tangan kirinya sesekali menyibak rambutnya ke belakang. Risih, mungkin. Kenapa tidak diikat saja? pikirku.

Setelah cukup lama menilai orang asing di sebelahku, pikiranku kembali mengembara.


Aku memperhatikan sekitar—ibu muda yang kelelahan menenangkan bayinya yang rewel. Nenek berambut perak yang menunggu kereta dengan anggun. Gadis kecil yang makan ayam dan nasi dengan lahap. Bahkan suara kunyahannya terdengar lezat bagi perut laparku.

"Hai."

Lihat selengkapnya