Andai saja Anna tahu seluk beluk tentang hukum berdasarkan vonis-vonis jika melakukan kesalahan, atau setidaknya ia berteman dengan salah satu mafia, mungkin ia sudah membunuh pria yang sekarang tengah berdiri di balik pintu apartemennya. Pria yang masih saja setia menunggu berdiri di sana padahal sudah sekitar 10 menit Anna sengaja tak membukakannya. Apalagi ingin menyambut pria itu. Lebih baik Anna berhadapan dengan makhluk tak kasat mata sekalian.
“Anna. Aku tidak bodoh. Buka pintumu, kau pikir dengan berdiam di dalam aku akan berpikir kau tak ada huh? Lampumu saja masih menyala.” Teriak Aiden dari luar.
Satu hal bodoh yang baru saja Anna sadari. Ia belum totalitas dalam berakting. Seperti ini saja, ia masih bisa ketahuan. Bagaimana ingin berteman dengan mafia. Mungkin jika menyamar, ia akan di ketahui lebih dulu oleh lawan.
“Apa?!” ucap Anna yang akhirnya membuka pintu apartemennya walau hanya setengah dan dengan nada membentak.
“Kau tak mempersilahkan aku untuk masuk dulu? Aku ini tamu.” Balas Aiden.
“Tidak. Dan jangan pernah berharap.” Ujar Anna dengan tajam.
“Ada hal penting yang harus aku bicarakan padamu. Dan aku butuh bantuanmu.” Ucap Aiden.
“Kau tahu jika kau itu setara dengan sampah? Kau pikir aku akan membantumu semudah itu huh? Kau datang jika sedang ada maunya. Pergi sana dengan keluarga barumu.” Balas Anna dengan sengit.
“Justru mereka yang akan membuat rencanaku gagal. Makanya aku kemari meminta bantuan darimu.” Ujar Justin.
“Tidak!” bentak Anna. Ia sudah yakin sekali jika apa saja yang di kerjakan atau di rencanakan oleh Aiden pasti tidak pernah benar. Jika harus menghilangkan nyawa seseorang, pasti akan di lakukan oleh pria itu.
“Kau akan dapat untung yang besar Anna. Dan kau bisa hidup lebih layak lagi. Tak tinggal di apartemen ini.” balas Aiden.
“Aku tidak serakah sepertimu. Aku sudah bersyukur bisa tinggal di sini. Yang aku sesali, kenapa tuhan menciptakan dirimu. Iblis yang menjelma menjadi manusia.” Ujar Anna.
“Hey, iblis yang kau bilang ini juga kau pernah jatuh cinta padanya. Dan mungkin sampai sekarang.” Balas Aiden sambil berusaha menahan pintu apartemen Anna.
“Setidaknya kita bicara dulu di dalam. Keputusan di tanganmu. Kau mau kerja sama denganku atau tidak.” Ucap Aiden lagi.
~
Justin telah sampai pada pekarangan rumah yang kemarin di beritahukan sebagai rumah minimalis milik pengusaha kaya raya. Ya menurut pemilik rumah ini mungkin rumahnya masih masuk ukuran kecil, tapi menurut Justin yang tidak terlalu miskin, rumah ini bak lapangan sepak bola. Luas sekali.
Pria itu lalu keluar dari mobilnya dan langsung di sambut oleh beberapa pelayan yang sudah menunggu di luar.
“Selamat pagi Tuan Justin.” Ucap salah satu pelayan wanita paruh baya menyapa Justin dengan sopan.
“Pagi.” balas Justin dengan singkat.
“Silahkan masuk lewat sini. Tuan Besar sudah menunggu di dalam.” ucap pelayan itu lagi dan mempersilahkan Justin masuk lebih dulu.
Justin pun berjalan dan di bukakan pintu oleh pelayan di sana. Ia masuk dan mendapati interior yang hampir sama dengan gedung kantor yang kemarin ia datangi. Hingga matanya melihat seorang lelaki tengah duduk di salah satu sofa sedang menyeruput minuman dari cangkir yang terlihat mahal sekali.