Lutfi Gilang

Penulis Noname
Chapter #2

Decision.1

Dari Diary Lutfi Nurtika

20 Mei 2020


Gedung-gedung pencakar langit memenuhi tiap sudut kota. Gemerlap lampu kian menunjukan kemegahan mereka. Reklame membentang di sepanjang mata, tak memberi rehat walau satu mili saja. Deru langkah insan tak bersela bagai waktu yang mustahil dijeda.

Di tengah manusia yang sibuk sepanjang masa, aku bertumpu dalam ruang yang selama ini kuimpikan. Meja kerja berhias bunga mawar di sudut kanan ruangan dengan laptop dan kalender duduk serta fotoku bersama dia. Tepat di depan itu diletakkan sofa yang nantinya difungsikan untuk area konsultasi dengan tanaman sansevieria diletakkan pada pojoknya. Sedang lemari sengaja ditaruh di sisi kiri meja kerjaku, itu rencananya akan kupakai untuk menyimpan berkas para klien.

Ruangan 4 x 6 meter ini memang masih terasa kosong bagi sebagian orang. Namun bagiku ini adalah kondisi yang sempurna untuk bekerja. Menurutku, ruang kerja paling nyaman adalah ruang yang tak begitu banyak barang apalagi pajangan, meski di kantorku tak ada pajangan sama sekali—perlu digaris bawahi, foto di meja kerjaku bukan pajangan.

Aku masih menikmati tiap detail properti yang telah ditempatkan sesuai harapanku. Sambil sesekali otak menyimulasikan ketika ada pelanggan yang datang atau pria yang sangat kurindukan.

Momen bertemu dengannya setelah sekian waktu akan jadi kisah yang penuh akan perasaan. Tak pernah bisa terbayangkan bila pertama kali bertemu dengannya tanpa tetes air mata, tanpa peluk, tanpa sepatah kata rindu ataupun ‘akhirnya kita bertemu’.

Membayangkannya saja sudah membuatku tak bisa lagi membendung air yang akhirnya keluar dari sudut mata. Di sini, saat ini, sekarang, aku hanya bisa berdoa agar dia mampu menemukanku sesegera mungkin, secepatnya. Semoga saja.

Dari keheningan yang menyeruak, terdengar dering telepon di sudut meja kerjaku. Terpampang tulisan Ayah di sana. Sudah lama dia tidak menelepon.

Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakaruh,” sapa suara di sana.

Wa’alaikum salam, Ayah!” aku berseru. Tak kuasa menahan gejolak rindu yang menggebu.

“Akhirnya bisa tersambung juga, bagaimana kondisimu Nak?”

“Sehat. Ayah sendiri gimana?”

“Akan lebih baik bila kau pulang Nak,” kata Ayah dengan nada berat.

“Ayah…. kita sudah sering membicarakan ini.”

“Ayah tahu. Tapi rindu tetaplah rindu.”

“Maafin Lutfi, Yah,” ucapku menahan sedih. “Bagaimana kabar Mamah, adik-adik juga?”

“Mereka bertiga sama, tak pernah seharipun bertanya kapan kamu pulang.”

Aku diam. Tak tahu jawaban apa yang paling tepat untuk dilontarkan.

“Di mana kamu sekarang?” tanya Ayah seakan menyudahi topik sebelumnya.

“Aku ada di kotanya pembuat robot,” ledekku sekaligus berusaha mencairkan suasana.

“Di mana itu?”

“Coba saja tebak.”

“Bengkel Mang Iwan?” Ayah balas meledek.

“Mana mungkin!” Aku berseru kemudian kami tertawa.

“Beri tahu Ayahmu, Nak.”

“Aku di Tokyo Yah.”

“Negara mana lagi itu, Nak?”

“Jepang Yah. Tokyo itu ibu kotanya Jepang.”

“Pasti ramai sekali di sana.”

“Begitulah.”

“Kapan kamu sampai?”

“Dua minggu yang lalu. Aku sudah memberi kabar melalui surel bareng dengan uang bulanan.”

Lihat selengkapnya