Dari Diary Gilang
20 Juni 2020
Apa yang terlintas pertama kali di pikiranmu saat mendengar kata ‘Jepang’? Aku yakin sesuatu tentang negara modern, robot, bunga sakura, gunung Fuji, anime, otaku, wibu, si mata sipit, maniak kerja, jumlah polisi terbanyak, jumlah kriminal paling sedikit di dunia, atau lainnya. Tak jauh beda denganku, sebelum semua pandangan itu lenyap seketika.
Sebulan lalu, aku masih ingat persis kejadiannya.
Sesampainya aku di Bandar Udara Internasional Tokyo, seperti biasa, seperti setibanya di negara sebelumnya: aku mengunjungi ruang keamanan demi meminta izin melihat rekaman CCTV. Semua berjalan normal, sebelum mereka menganggap aku seorang stalker, dugaan yang biasa kudapat. Namun semua berubah mencekam setelah sesi interogasi dimulai.
Beberapa AVSEC [1] memeriksa bawaanku dengan kasar, tapi sangat teliti. Hampir tak ada satu sisipun yang terlewat untuk dicek. Dan, seperti kebanyakan petugas yang melihat buku catatanku, mereka mengira itu sebagai blacknote [2]. Aku masih bisa mentolerirnya, karena aku pun akan beranggapan sama ketika ada orang yang mencurigakan sepertiku. Namun yang lebih parah daripada itu semua adalah: mereka menyangkutpautkan masalah ini dengan permasalahan mereka: Mafia.
Aku memang sempat mendengar kabar burung perihal ini, tapi tak pernah terlintas kalau aku akan dikambinghitamkan. Lagi pula tak ada tampang kriminal di wajahku, kan?
“Apa maksudnya ini?!” salah seorang bertanya, lebih terdengar membentak.
Aku tak berkata, hanya mengangkat bahu. Lagian aku tak melihat apa yang dituding petugas itu.
Salah seorang petugas lainnya mengambil kertas yang ditunjuk lalu mengarahkannya padaku.
Aku tergelitik saat tahu kalau itu adalah pesan terakhir Lutfi yang kudapat di Belanda.
“Kenapa tertawa?!” gertak petugas pertama.
“Beritahu kami, apa maksudnya ini?” tambah petugas lainnya.
“Menurutmu?” aku balik bertanya. Cukup jengkel sebetulnya. Meski nalarku bisa menerima, tapi apa jadinya kalau beberapa orang yang bertingkah mencurigakan sepertiku diperlakukan begini?
BUG!
Satu pukulan telak mengenai pipi kananku. Aku tak terpancing apalagi membalas, walau aku tahu banyak sekali kesempatan menghabisi mereka berdua lalu kabur. Namun aku memilih bungkam.
“Tadashi!” Petugas kedua berseru. “Apa yang kau lakukan?!”
“Kita perlu dia bicara. Dan ini yang paling efektif!”
“Bukan seperti itu caranya!”
“Berisik,” ucapku memotong perseteruan mereka. “Aku hanya bertanya. Kalau kalian menyerah mencari tahu, biar kujelaskan.”
Pria bernama Tadashi masih menatapku tajam, tapi mulutnya tetap terkatup. Jujur, tindakan gegabahnya tadi bisa membuat dia kehilangan apa yang telah dimilikinya saat ini. Namun aku tidak sesadis itu, belum, kurasa.
“Maafkan temanku, dia hanya terpancing,” Pria itu duduk dan menyerahkan kertas tersebut padaku. “Beritahu kami, apa artinya itu jadi semua ini bisa berakhir baik untuk kita bertiga.”
“Siapa?”
Pria itu mengerdipkan mata sampai akhirnya memahami pertanyaanku. “Ah.... maafkan aku. Memang tak baik kalau belum mengenalkan diri. Aku Daisuke, dan dia Tadashi.”
“Cukup basa-basinya!”
Daisuke berdeham.
“Itu sandi, kode rahasia,” kataku akhirnya.
“Lihat! Apa kubilang?!” Tadashi berseru girang, tapi langsung diam setelah Daisuke melempar tatapan tajam ke arahnya.
“Dalam alfabet, huruf ‘G’ ada pada posisi ketujuh. Jadi angka apa pun bisa dijadikan huruf sesuai urutannya,” Aku melanjutkan tanpa peduli yang terjadi sebelumnya. “Angka pada tanda kurung adalah kode telepon Jepang. Angka kosong tiga di belakangnya adalah kode area Tokyo.”
“Lokasi,” Daisuke menyambung.
Aku mengangguk. “Sisanya kalian bisa artikan sendiri.”
Daisuke menangkap kertas itu seraya berkata, “Artikan.”
Kubalas pandangan tajamnya karena aku tahu kalau itu adalah bagian dari intimidasi. Namun akhirnya aku berkata juga, bukan takut. Melainkan tak mau waktu terbuang lebih daripada ini. “L-U-T-F-I.”
“Lutfi?” kedua petugas itu berkata hampir bersamaan. Walau lebih terdengar ‘Luffy’. Semoga saja mereka tidak salah mengira aku seorang wibu.
“Apa maksudnya?” Tadashi bertanya dengan nada yang lebih rendah.
“Tunanganku, aku mencarinya selama ini.”
“Omong kosong apa itu?!”