Lutfi Gilang

Penulis Noname
Chapter #4

Decision.3

Dari Diary Lutfi

20 Mei 2020

 

Sirine mobil polisi memaksa para pengendara juga pedestrian menyingkir dari jalan. Seorang polisi wanita yang tidak disibukkan dengan kemudi masih memfokuskan pendengaran pada handy talky [1] dalam genggamannya. Sedang aku terduduk di kursi belakang dengan kedua tangan terborgol.

Ini kesekian kalinya aku berurusan dengan polisi di mana aku dianggap sebagai pelaku, tapi ini adalah kali pertama aku disangka sebagai mafia.

Tak pernah terlintas kalau aku akan kembali berurusan dengan pihak berwajib setelah sekian lama, terutama selepas singgah di Turki dan Belanda. Rasanya lima bulan yang kulalui dengan keamanan—tanpa adanya urusan kriminal atau peristiwa mengerikan lainnya—membuatku gemetar untuk kembali terjun pada hal yang seakan menjadi makanan utama sewaktu SMA.

Namun selepas itu semua kekhawatiran akan dia memberikan keberanian tersendiri untukku melakukan pilihan yang boleh dianggap di luar nalar. Bagaimana tidak? Seorang wanita muda terjun ke perseteruan antara polisi dan mafia hanya demi menyelamatkan kekasihnya. Inilah yang disebut cinta, karena cinta menurutku, sejatinya adalah siap melakukan apa saja demi orang yang dicinta.

Dalam perjalanan, kami mendapati mobil-mobil yang melaju ke lawan arah, meski ada beberapa yang justru mengikuti kami. Barang kali itu milik stasiun televisi yang memaksa karyawannya berburu berita tanpa peduli apa akibatnya pada banyak orang juga karyawannya.

Awalnya perjalanan berlangsung biasa, tapi seketika jadi cukup menegangkan saat terdengar sebuah ledakkan yang menggelegar dahsyat, bahkan beberapa menit berselang sebuah mobil van hitam hampir menabrak kami. Untunglah si polisi cekatan membanting kemudi ke bahu jalan dengan rem yang memaksa roda lebih bergesekan dengan aspal membuat kedua mobil hanya saling menyerempet.

“Perlu dikejar?” tanya Tatsuya.

“Kita urus orang itu nanti, aku sudah mencatat plat nomornya.” jawab Kyoko.

Tatsuya mengangguk dan kembali mengemudikan mobil menuju TKP.

Kejadian barusan membuat hatiku resah entah kenapa. Walau tanpa sengaja aku bisa melihat raut wajahnya yang tampak seperti orang Eropa, tapi aku sama sekali tak dapat berhipotesis. Jujur, hati dan otakku masih dipenuhi kekhawatiran akan keselamatan dia. Lebih-lebih sehabis ledakan barusan yang sampai membuat jalan bergetar.

***

Entah berapa lama aku bergelut dalam kesendirian, mobil mendadak berhenti. Aku diminta keluar dan melihat pemandangan yang tak sedap diamati: kehancuran.

Bangunan megah yang menjadi gerbang awal aku tiba di Tokyo, kini telah separuh ambruk dengan kobaran api yang masih menyala-nyala. Para fire force terlihat cukup kewalahan menghadapi luapan api yang tak kunjung padam, juga menyelamatkan warga yang berlarian ke segala arah. Bagaimana tidak, hanya 4 pasukan yang dikerahkan untuk mengatasi masalah ini, jelas saja mereka keteteran.

Bukan maksud menanggapi kejadian mengerikan ini dengan setengah-setengah melainkan pasukan lainnya ditugaskan di tempat yang berbeda. Ini sesuai pernyataan Kyoko sebelumnya, para mafia membuat onar di mana-mana.

Sementara semua orang sibuk dengan urusan mereka, aku justru mematung beberapa saat karena tak dapat menahan syok, yang kemudian disusul dengan teriakkan, “Gilaaaang....”

Lalu berusaha masuk ke dalam bangunan itu. Namun para petugas dengan sigap menghentikan aksiku.

Ketidakwarasan membuat aku meronta dan memaksa melepaskan diri. Beberapa polisi yang menjagal kubuat tak berdaya dengan menjejak perut juga menghantam tengkuk mereka. Sayangnya tak seperti dalam perfilman, satu orang wanita dengan tangan terborgol mustahil melumpuhkan segerombolan pria yang terlatih. Aku dipaksa diam setelah Kyoko menghantam tepat ulu hatiku.

“Tenanglah, jangan menambah keributan di sini,” ujarnya.

“Bagai-mana ... aku bisa te-nang, dia.... dia masih di dalam sana, kan?” kataku tertatih-tatih.

Kyoko kembali mengangkat alat komunikasinya, dari situ aku mendengar kalau orang yang ditahan sudah diamankan. Setelah mendapatkan pertolongan pertama, si tawanan akan dipindahkan ke Tokyo Detention Centre.

“Apa kalian juga membawa orang Asia itu?!” tanyaku menyerobot mulut Kyoko yang belum juga mulai bergerak.

“Siapa di sana?!” tanggap suara di balik HT.

“Orang yang aku bawa,” ucap Kyoko.

“Apa aku perlu menjawabnya?”

“Ya. Jawaban itu sangat penting.”

“Hanya ada satu orang yang ditangkap hari ini, dan mukanya jelas saja orang Asia.”

Lihat selengkapnya