Dari Diary Gilang
20 Mei 2020
Pria berpostur binaragawan yang bersetelan kantoran dengan gaya rambut wavy middle part di hadapanku masih menunjukkan tatapan dingin walau peluru yang ia lesatkan telah menyingkirkan nyawa pria tak berdaya di belakangku, menunjukkan betapa tidak pentingnya hidup orang lain baginya.
“Kenapa menembaknya?!” aku bertanya setengah berteriak.
Tak ada respons apa pun selain menyimpan pistol di balik jas yang ia kenakan.
Sikapnya yang apatis membuatku geram hingga melancarkan serangan dadakan. Namun sekali lagi Reo membuatku terkejut akan kelincahannya menangkap tinjuku terlebih di ruang berasap ini.
“Apa kau ini tikus tanah, huh?” tanyanya seraya mendaratkan bogem di pipi kiriku.
Aku terjungkal, mencium lantai berdebu.
“Wake up hoko onchi [1]!” Reo berseru sambil melentikkan jemarinya.
Aku bangkit dan kembali melancarkan pukulan juga tendangan yang kesemuanya berhasil ditepis oleh Reo. Keluwesannya dalam bertarung terbukti akan bagaimana ia melakukan counter dengan sempurna. Pria itu jelas menunjukkan bahwa ia berbeda dari semua orang yang selama ini kulawan, levelnya berada jauh di atasku.
“Apa kau setumpul penamu, penulis?”
Dari mana Reo tahu kalau aku penulis? Atau ia melihat tulisan di kaosku? Tapi bagaimana bisa membacanya di ruang penuh asap begini?
Aku bangun, berdiri sempurna, memejam mata lalu mengembus napas. Sebisa mungkin menghiraukan apa yang terjadi di sekelilingku, yang memecah fokusku untuk mengkhawatirkan lebih banyak hal daripada seharusnya. Kutatap pria di hadapanku. Ia memberiku pelajaran bahwa kadang bersikap apatis itu patut dilakukan.
Sekarang, aku tidak harus memikirkan apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Aku hanya perlu menghajar Reo sampai ia mau berkata apa yang kubutuhkan.
Aku mendekat ke arah pria itu. Kulihat ia menyeringai seraya berucap, “Matamu jadi lebih baik sekarang.”
Berbeda dari sebelumnya, kali ini aku melancarkan serangan kejutan. Saat Reo hendak menangkisnya aku langsung menggantinya dengan tinju tangan kiri yang tepat mengenai pipinya. Ketika tangan kanannya kembali bergerak, aku langsung mendepak dadanya hingga membuat pria itu berguling di tanah.
“Wake up hoko onchi!” seruku menirukan kalimat Reo sebelumnya.
Seringai Reo berkilat, ia bertompang kedua kaki cepat lalu melancarkan serangan beruntun. Mengamati gempurannya aku cukup yakin kalau Reo pernah belajar seni bela diri campuran atau ia masih jadi seorang atlet MMA.
Keterampilannya dalam mengganti jenis serangan—pukulan, tendangan, juga kuncian menjadikan ia lawan yang sulit dilumpuhkan, terlebih kehebatan matanya dalam mengamati lawan juga situasi sekitar. Barangkali keahliannya itu juga didasari oleh ekskul pencak silat yang ia ikuti sewaktu SMP.
Namun sekarang, aku merasa kemampuanku tidak terlalu jauh darinya. Bukan maksud menjadi pria berkepala besar, tapi sebelum tiba di Jepang aku sudah melawan orang-orang dengan kemampuan yang beranekaragam. Seperti kata pepatah, ‘pengalaman adalah sahabat terbaik dalam hidup’ dan itu terbukti di mana aku mampu membalas counter Reo dengan terjangan yang lebih tajam.
“Ini takkan berakhir semudah apa yang kau mau!” pria itu berseru kemudian mengusap ujung mulutnya yang berdarah.
Aku menegap badan sambil mengatur napas yang mulai ngos-ngosan. “Tidak ada masa depan yang baik bagi seorang pembunuh!”
“Kau yang sejak awal sudah hidup dalam dunia yang utuh, kau tahu apa tentang duniaku? Karena dunia inilah, aku sangat menderita! Orang sepertimu tidak akan mengerti seperti apa kejamnya dunia!”