Dari Diary Lutfi
20 Mei 2020
Polwan yang berdiri di sisi kami berhasil menghalau peluru untuk bersarang di tengkorak si orang Eropa. Namun aku yakin itu tepat mengenai dadanya.
“Kyoko-san!” Aku berseru dan berlari ke arahnya.
Wanita itu meringis sambil menunjukkan rompi anti peluru yang ia pakai. “Kenakan apa pun untuk melindungi nyawamu, apalagi saat berhadapan dengan para kriminal.”
“Kau terlalu ceroboh,” kataku.
“Tatsuya!” teriak Kyoko.
“Apa yang kau lakukan?” tanya suara di seberang.
“Hentikan semua ini!”
“Apa maksudmu?! Aku sedang membantu kalian dari orang itu.”
“Apa kami tampak sebodoh itu?!” aku balas bertanya. Sementara Kyoko bersandar pada bahu kiriku lalu membisikkan sesuatu.
Tatsuya membuang muka kesal. “Aku benci orang cerdas seperti kalian.”
“Pria itu adalah kabar buruk untuk kita semua,” si orang Eropa menyambung. “aku akan membantu kalian.”
“Kau pikir, aku akan melepaskan orang yang baru saja mau membunuhku?”
“Musuh dari musuhku adalah kawanku.”
“Sejak kapan orang itu jadi musuhmu?”
“Dengan datangnya dia ke tempat ini, itu berarti rekanku di sana sudah dibunuh, atau lebih buruknya disiksa,” jelas si orang Eropa.
Aku diam, berpikir sejenak. Namun akhirnya mundur juga, membiarkan pria itu bangkit setelah menyadari kalau Tatsuya bersama dengan segerombol polisi yang datang berusaha menghabisi si orang Eropa atau barang kali aku juga termasuk target mereka.
“Apa tujuanmu?!” Aku berseru di tengah suara tembakan yang saling balas.
“Bukan urusanmu!” Tatsuya menanggapi. “Kau hanya perlu mati atau dicap sebagai penjahat seperti orang di sebelahmu.”
“Hentikan, Tatsuya-san!” Kyoko menyambung. “Aku tidak begitu paham mengenai masalahmu, tapi jangan bawa Lutfi-san dalam persoalanmu itu!”
“Anjing negara sepertimu diam saja!”
“Percuma mengajaknya bicara,” serobot si orang Eropa. “dunia ini hanya memberikan kebebasan kepada mereka yang punya kekuatan dan kekuasaan. Jadi, kalau kau mau dia bicara, kau harus punya dua hal tadi,” ucapnya seraya melumpuhkan pria yang hendak menikamku dari belakang.
Aku mengembus napas kesal sekalian berkata, “Ada kalanya kata lebih kuat dari apa pun.”
“Hei apa yang kau lakukan?” tanya si orang Eropa sedikit berseru setelah senapan laras pendek yang kugenggam terarah tepat pada keningnya.
Aku menyeringai lalu berbisik. “Sesuai rencana,” Setelah itu menggenggam tangan kiri dengan ibu jari pada posisi dalam.