Dari Diary Gilang
20 Mei 2020
Tatapan tajam masih saling balas. Aku tetap bergeming walau pria di hadapanku mengarahkan moncong pistolnya padaku. Sampai akhirnya jarinya menarik pelatuk dibarengi suara tembakan, aku masih sanggup berdiri, masih dapat memandang ke arahnya dengan nyawa yang tak lepas dari raga.
Bagaimana bisa aku masih hidup?
“Ini terkunci,” ucap Reo sembari menyimpan senapan laras pendeknya.
Aku diam, tak menanggapi. Lebih kepada waspada. Sesuai kata pepatah, 'maafkan musuhmu tapi jangan pernah lupakan kesalahannya'. Lagi pula tak sepatutnya aku langsung memercayai orang yang telah lama tak ketemui, terlebih Reo yang mana akhir pertemuan kami adalah sebuah kekacauan.
“Timming-nya memang sangat pas. Tapi lihat, kau masih hidup,” pria itu kembali berkata.
Sementara aku tetap bergeming.
“Apa memang perlu sewaspada itu denganku?”
Aku mengembus napas lalu berkata juga, “Mana mungkin aku percaya pada orang yang menodong pistol ke arahku sampai dua kali?”
“Yah.... ini kebiasaan. Aku suka membuat situasi jadi lebih menarik,” tanggap Reo.
“Siapa yang menembak?” tanyaku mengalihkan topik.
“Untuk apa bertanya sesuatu yang kau sendiri sudah tahu jawabannya?”
“Jadi, apa kita bisa keluar sekarang?” aku balas bertanya.
“Tunggu mereka sampai sini, aku butuh kesaksianmu.”
Aku mengangguk setuju.
Tatkala Reo disibukkan dengan ponselnya untuk menjelaskan lokasi kami, aku mengamati sekali lagi tubuh Yoshinori dan Agashi. Luka pada keduanya menunjukan luka fatal yang telah merenggut nyawa mereka dengan cepat.
Namun yang membuatku penasaran adalah robekan pada pakaian Agashi. Itu memang tampak lurus dan bukan merupakan hasil sayatan, tapi apa mungkin peluru merobek kain dengan sangat rapi dan menghasilkan lubang yang kecil? Lebih daripada itu trakea Yoshinori yang berlubang tidak terlihat seperti luka baru meski mengeluarkan darah segar.
Yang paling membuat hatiku risau adalah ketika aku mendekati jasad mereka, Reo menghentikanku dengan dalih kalau sidik jariku ada pada mereka, akan menyulitkan aku saat sesi interogasi nanti, meski itu sesuatu yang masuk akal.
Petugas yang ditunggu akhirnya tiba. Setelah menyapa Reo dan mendapat tugas darinya setengah peleton polisi bergegas melaksanakan tugasnya masing-masing termasuk mengantar kami keluar—dua diantaranya menginterogasiku terkait apa yang terjadi.
Setelah melalui lorong-lorong dan bangunan yang bisa ambruk kapan saja, akhirnya kami sampai di pintu keluar yang telah dinanti—kunanti. Beberapa petugas mengambil alih tubuh Agashi dan Yoshinori, sementara aku masuk ke mobil polisi bersama Reo untuk dimintai keterangan. Satu hal yang membuat aku penasaran adalah kalimat Reo, “Kau bakal kembali ke kehidupanmu yang seharusnya.”
***
Mobil polisi melaju di jalanan yang sepi akan pengendara. Walau sirine dimatikan takkan mengurangi kecepatannya menuju Tokyo Detention Centre. Di kursi belakang aku duduk berjejer dengan Reo, sementara Inspektur Kepolisian Tokyo—Jun Takagi mengendarai mobil dan Inspektur Kepolisian Pusat—Karasuma Sendou berada di sampingnya.
“Jadi,” Karasuma mengawali pembicaraan. Pria berusia setengah abad itu memakai setelan kantoran, kumis dan jenggot tak tumbuh pada wajah perseginya. “pria di sampingmu itu adalah teman lamamu yang mencari pacarnya sampai ke tempat ini yang secara kebetulan dianggap komplotan mafia, padahal ia sendiri sedang diburu oleh mereka?”
Reo menjawab “Ya,” dengan tetap menatap keluar kaca mobil, matanya tampak menyelidik sesuatu.
“Siapa namamu, nak?”