Lutfi Gilang

Penulis Noname
Chapter #10

Hesitate.1

Suara melengking itu menyadarkanku akan ingatan yang terjadi beberapa hari ke belakang. Di depanku, seorang wanita menampilkan raut kesalnya. Aku paham, ia begitu karena kecewa. Tentu saja aku memakluminya, lagi pula untuk apa berdiskusi dengan konsultan yang bahkan tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?

“Maaf,” kataku tergagap.

“Bagaimana pendapatmu?” wanita itu mengulang pertanyaan ia sebelumnya.

Aku menunduk kepala. Tak sanggup berkata-kata. Kuyakin saat itu tatapanku kosong.

“Kalau tidak siap kerja, lebih baik tutup saja!” ia mengomel lalu bangkit. “Aku akan kembali lagi nanti!” serunya.

Aku menanggapi dengan membungkuk badan membiarkan wanita itu meninggalkan tempat kerjaku. Kemudian menyerahkan seluruh berat tubuh pada kursi seraya mengembus napas panjang.

Aku tidak boleh begini terus. Hatiku berbisik. Berusaha mengendalikan emosi yang telah cukup lama menggerogoti diri.

Tragedi sebelumnya bukanlah masalah sepele yang bisa dilupakan begitu saja. Apalagi setelah peristiwa menegangkan itu, tak ada kabar sama sekali tentang dia. Lebih-lebih otakku banyak memunculkan pertanyaan yang buatku ingin muntah.

Perasaan yang diubek-ubek akan kekhawatiran dan ketidakberdayaan menjadikan aku seperti sedang memakan buah simalakama. Walau aku yakin asam di darat, sementara ikan di laut bertemunya di belanga. Namun tidak melakukan apa pun sama saja percuma.

Setelah mengusap kepala dengan kasar, aku memejam. Membiarkan ribuan pertanyaan memenuhi otak. Sampai tak terasa air mataku menetes.

Aku harus gimana, Gilang?

***

9 Maret 2015

 

Pagi itu ada yang aneh dengan sekolah.

Tidak ada sapaan konyol dari Mamang Budi—satpam sekolah—seperti biasa, yang ada hanya sorotan mata menyelidik. Para siswa pun melihatku dengan pandangan serupa, meski kebanyakan terlihat sinis.

Halaman sekolah yang biasanya bersih dan asri, sekarang kotor seperti tidak pernah terawat. Beberapa bangunan tampak mengerikan. Tembok-tembok retak, banyak kaca pecah, juga genteng tercecer di sembarang tempat.

Ketika aku mencoba bertanya ke teman sekelas, mereka membisu lalu menjauh. Sekalipun Gyan—sahabatku—ia melakukan hal yang sama. Tak terkecuali Ateg—teman dekatku juga teman Gilang sewaktu SMP—ia ikutan bungkam.

Ada apa sebenarnya? Ada yang aneh dengan sekolah.

Merasa percuma mencari tahu, aku kembali ke tempat dudukku. Meraih ponsel, menghubungi Gilang. Dari sudut mataku aku tahu kalau Kelvin dan Arya seringkali melihat ke arahku, tapi aku bergeming dan mengalihkan pandanganku.

Telepon tersambung. Suara khas dari pria yang kucinta terdengar merdu dan melegakan hati. “Hallo.”

Belum sempat untukku menjawab, suara Bu Yuni—wali kelas X-10—terdengar mengerikan, jauh berbeda dari biasanya. “Lutfi, ke ruang Kepala Sekolah sekarang!”

Gelagapan, aku menaruh ponsel ke dalam saku lalu berusaha menyamakan langkah kakiku dengan bu Yuni.

“Duduk,” kata Bu Yuni setelah kami sampai.

Di ruangan ini selain aku, Bu Yuni dan Kepala Sekolah, ada juga guru BK, kesiswaan dan beberapa guru lain yang memandangku dengan tatapan tidak senang. Aku tak mengerti alasannya. Ini jelas ada yang aneh dengan sekolah.

“Lutfi dari kelas sepuluh sepuluh, ya?” Kepala Sekolah mengawali pembicaraan. “Kamu sudah lihat kondisi sekolah?”

Aku lagi-lagi menanggapi pertanyaannya dengan anggukan kepala.

“Sabtu kemarin katanya kamu ke panti,” sambung guru BK sambil membolak-balik lembaran kertas di tangannya.

Aku mengiyakan dengan isyarat.

“Ada bukti?” tambah kesiswaan.

“Gimana Pak?” tanyaku memastikan.

“Ada bukti kalau Sabtu kemarin kamu ke panti?” tanggap Bu Yuni, masih pada nada datarnya. “Foto misalnya.”

Aku mengambil ponsel dari dalam saku. Belum sempat kutunjukkan hasil foto kegiatan dua hari lalu, kesiswaan merebut ponselku lalu menggertak, “Apa ini?!”

“Telepon siapa?” sambung salah seorang guru yang tak pernah kutahu ia mengajar mapel apa.

“Gilang Pak, tadi lupa belum dimatikan.”

“Gilang!” seru kesiswaan mengabaikan penjelasanku.

“Hai Pak,” sambung suara di telepon.

“Ke ruang Kepala Sekolah sekarang!”                                                

Lihat selengkapnya