Lutfi Gilang

Penulis Noname
Chapter #11

Hesitate.2

Dari Diary Gilang

27 Mei 2020

 

Aku sama sekali tak dapat menebak apa yang terjadi sebelumnya. Saat mata kembali melihat, aku cuma bisa meyakinkan diri kalau aku telah dipenjarakan ke dalam white room. Area yang hanya memiliki 1 akses untuk masuk juga keluar. Ruang seluas 6×6 meter ini tidak dibenahi apa pun selain satu meja yang warnanya juga putih. Yang paling membuatku bertanya-tanya adalah untuk apa aku sampai dimasukkan ke tempat ini?

Dalam beberapa artikel meyebutkan bahwa metode white room adalah metode penyiksaan mental yang paling berbahaya. Semua yang ada di ruangan—termasuk makanan—semuanya berwarna putih. Selain itu tak ada suara yang bisa didengar dari sekitar ruangan selain suara yang dihasilkan oleh tahanan itu sendiri. Sasaran utama dari metode white room ini adalah kerusakan pikiran yang tujuannya untuk menanamkan rasa takut meski hasilnya jauh lebih berbahaya daripada sekadar ‘tahanan yang ketakutan’.

Hasil penyiksaan metode white room adalah hilangnya identitas dan mati rasa indra. Selain itu, si tahanan juga akan memiliki trauma mendalam terhadap warna putih dan kehilangan kemampuannya untuk mengenali orang-orang yang diketahuinya. Penyiksaan semacam ini adalah penderitaan psikologis berkelanjutan bahkan setelah tahanan berhasil keluar. Umumnya penderitaan itu tanpa akhir dan mustahil kembali normal. Bisa disimpulkan bahwa orang yang memasuki white room akan mengalami kehancuran seumur hidupnya.

Meski telah berkunjung ke berbagai negara dengan kondisi yang beragam, nyatanya mengatasi claustrophobia[1] tak semudah meredam xantofobia[2], apalagi waktu itu ada dia yang membantuku. Sekarang dengan hanya aku seorang diri, aku harus memutar nalar demi menjaga kestabilan emosi ketimbang memunculkan fantasi-fantasi semu yang mustahil terjadi. Dan berpikir rasional adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk saat ini. Ya, setidaknya keputusan ini yang terbaik untukku sekarang.

Setelah menghabiskan banyak menit tersungkur di dekat meja, samar aku mendengar pintu berderit, sangat lirih—bila saja sedari tadi aku tidak memfokuskan pendengaran mustahil suara itu kukenali. Dari getaran lantai aku bisa membenarkan kalau si penjaga melangkah, jalannya tanpa suara karena sepatu yang ia pakai berlapis baja.

Hawa keberadaan si penjaga makin terasa dekat, bahkan embusan napasnya tak begitu jauh dari mukaku. Ketika semuanya mulai tak berjarak, aku membuka mata.

Kosong.

Tak ada siapa pun di sekelilingku.

Kusapu pandang ke tiap sudut ruangan, hasilnya sama: nihil.

Aku menengadah kepala. Otak bertanya-tanya, Apakah aku mulai terpengaruh white room ini? Kalau tidak, mana mungkin aku mengalami itu? Apa aku bermimpi? Tapi aku yakin kalau aku masih bangun. Terus kapan aku ketiduran? Sialan! Kalau aku tidak bisa mengatasi semua ini, aku akan benar-benar sinting.

Tanpa desingan suara ac apalagi gemeradak kipas angin mendadak suhu di sekitarku menjadi dingin. Ralat, sangat dingin. Sampai membuatku meringkuk bagai kucing kelaparan. Mulut seketika kering, aku bisa merasakan kalau tubuhku mengalami panas dalam. Jemari mulai terasa kaku digerakkan, seperti mengenakan sarung tangan yang sangat tebal. Aku juga melihat ujung jemariku mulai membiru, aku kelu karena tahu apabila ini terus berlanjut akan membuatku mengalami kematian jaringan dan lebih parahnya adalah—sesuatu yang sangat tidak ingin kusebutkan.

Namun aku masih sanggup bertahan, tak sedikitpun mengeluarkan kata yang barang kali mereka tunggu. Meski berulang-ulang bayangan penjaga menghampiri, membuatku muak dan ingin muntah.

Tak seperti yang muncul dalam dunia perfilman, dinginnya ruangan ini makin menggila. Tubuh yang sedari tadi menggigil, kini berhenti. Dan seperti yang pernah kubaca, aku mulai mimisan. Ini adalah gejala tingkat lanjut saat tubuh tak lagi bisa menahan suhu dingin. Satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan tetap menjaga kesadaran. Meski kewarasan menjadi hal yang patut dipertanyakan, tapi tidak pingsan apalagi ketiduran adalah cara terbaik yang bisa kulakukan untuk saat ini. Mungkin inilah keputusan terbaik untukku sekarang.

***

Ada momen dalam hidup semua orang. Momen yang mengubah hidup mereka, momen yang ingin mereka ulang sebelum mati. Tapi kenapa aku mengatakan ini? Apa aku akan benar-benar mati kali ini?

***

16 Maret 2015

 

Peristiwa semalam yang membuat Rangga dan beberapa siswa SMA lainnya kritis menyebar dengan cepat ke seluruh warga SMAN Purwokerto, secepat penyebaran Black Death[3]. Selain menjauh, para siswa melempar pandangan dengan tatapan takut, geram juga jijik, sejijik ketika melihat psikopat memakan mangsanya. Pada meja kelasku sudah banyak coretan ‘psikopat’.

Beberapa berandalan yang sok berkuasa berlalu-lalang sambil berseru: “Sebrengsek-brengseknya kami, ga lebih brengsek daripada lo!”; “Dasar ga tahu malu, masih berani ke sekolah!”; “Pergi ke penjara dasar berandalan!” dan makian lainnya. Namun ketika aku beranjak dari tempat duduk, mereka mengambil langkah seribu.

Lihat selengkapnya