Belum pernah aku melihat kemarahan bapak seperti ini. Aku duduk di dekat ibu, menyaksikan Kak Aina yang dicaci-maki bapak. Kakak perempuanku itu hanya menunduk dan menangis. Berbagai lontaran kata-kata kotor keluar dari mulut lelaki yang selama ini sangat aku hormati itu. Agaknya kemarahan bapak sudah sampai pada puncaknya dan dia tak dapat mengendalikan dirinya lagi,
“Kau telah mencoreng aib pada keluarga kita, Aina! Sekarang apa bedanya kau dengan pelacur?!”
“Maafkan Aina, Pak,” tangis kakak perempuanku itu semakin menjadi-jadi.
“Sekarang mana lelaki jahanam yang katanya mencintaimu itu, mana?!” teriakan bapak membahana.
“Sudahlah, Pak,” ibu yang sedari tadi cuma diam saja kini coba menengahi.
Bapak menggeram lagi. Menatap Kak Aina dengan penuh kemarahan.