Stroberi dan lemon, kombinasi yang sempurna.
Lyra mengangkat mesin pemeras buah ke dalam wadah cuci piring, membersihkannya sebentar sebelum meletakkannya ke dalam laci penyimpanan. Ia kembali menikmati sarapannya, roti panggang dan stroberi dengan selai cokelat lezat dari toko olahan rumahan keluarga Odette yang tinggal tidak jauh dari pasar, serta air lemon segar yang baru saja diperasnya.
Dari balik jendela rumahnya yang kecil, ayahnya sedang sibuk bercocok tanam di kebun mereka yang berada di halaman depan rumah. Ayah Lyra, Quentin, adalah seorang petani. Dia memiliki satu bidang tanah berukuran cukup besar yang dibaginya menjadi lima bagian untuk menanam buah dan sayuran; wortel, tomat, semangka, kentang, dan bayam. Saat ini sedang pertengahan musim panas, dan masa-masa panen di seluruh penjuru desa mereka, Deanville, akan segera tiba.
Lyra berdiri di ambang pintu rumah, memerhatikan Quentin bekerja di kebun. Beliau sedang memasukkan kentang-kentang ke dalam satu keranjang rotan, ditambah satu buah semangka besar yang baru masak.
“Bisakah kita menyimpannya?” tanya Lyra saat ayahnya memasukkan semangka tersebut ke dalam satu keranjang.
Quentin berbalik. “Apa?” ia mengusap peluh dari dahinya.
Lyra menunjuk buah semangka itu. “Itu.”
Quentin mengikuti arah tunjukan Lyra, lalu kembali pada anak gadis satu-satunya. “Kita sudah memiliki banyak persediaan buah, stroberi dan lemon, seperti yang kau suka. Lebih baik semangka ini dijual ke pasar. Kau tahu, buah semangka sedang banyak dicari saat ini karena hari-hari yang terik.” Ia kembali berjongkok mengeruk-ngeruk tanah.
Sambil bersandar pada ambang pintu, Lyra melipat kedua lengannya. “Kenapa kita tidak menanam stroberi dan lemon juga? Atau anggur? Ayah, kita bisa membuka stan atau kios kecil untuk berjualan jus-jus segar dari buah-buahan. Itu akan sangat menguntungkan,” usul Lyra, menjentikkan jarinya.
Sudah menjadi rutinitas setiap pagi bagi Lyra dan Quentin mengobrol santai seperti sekarang. Kali ini gadis itu sedang senang membicarakan sesuatu yang mendatangkan keuntungan dan uang.
Quentin berbalik sekali lagi. “Mrs. Elois sudah menanam anggur dan stroberi. Beliau pemasok utama di pasar. Lagi pula, kita berada di dataran yang lebih rendah untuk bisa menanam stroberi atau anggur,” ujarnya sambil memegang sekop.
Rumah mereka berada di bukit, tetapi tidak terletak jauh di atasnya.
“Dan untuk membuka kios, kau seharusnya melakukannya di kota atau di jalur penduduk desa menuju pasar. Tidak ada gunanya kau membuka kios di sekitar sini.” Quentin kembali berjongkok, mulai menyekop lagi. “Stan dan kios juga membutuhkan biaya.”
Lyra tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia manggut-manggut dan termenung di tempatnya berdiri.
Ayahnya kembali menoleh. “Apa kau menata rambutmu dengan cara berbeda hari ini?” ia bertanya.
“Hari ini aku mengepang rambutku. Aku bosan dikuncir, membuat kepalaku sakit.”
***
Tepat pukul 9.30, Lyra berjalan menuruni bukit sembari membawa satu keranjang penuh dengan tomat dan kentang, serta tentunya satu buah semangka besar yang terlihat sangat segar.
Pasar utama cukup jauh dari rumahnya, letaknya berada di dataran rendah. Pasar utama juga bisa disebut kota di Deanville, karena di sinilah jantung desa tersebut berada di mana orang-orang bertemu, berlalu-lalang, dan saling menukarkan hasil produk olahan rumahan mereka pada satu sama lain. Para wanita memakai topi dan penutup kepala, serta renda-renda atau apapun ornamen menarik dan mengkilap di gaun yang mereka kenakan. Lyra, di sisi lain, hanya mengenakan dress sederhana dengan kardigan, bahkan satu sisi roknya yang bermotif kotak-kotak membuatnya terlihat sebagai pekerja di toko roti.
Gadis itu menghampiri salah satu kios yang menjajakan sayur dan buah, salah satu pedagang yang sudah menjadi langganan sejak lama hasil perkebunan ayahnya.