Lyra and The Moon

Fann Ardian
Chapter #3

Stares and Longing Heart From Afar

Lyra berlari kecil melewati jalan yang mengarah ke pasar. Ia melihat sekeliling, dan mendapati sepeda pemuda itu sudah berada jauh di depannya. Lyra berjalan cepat menyusul. Tampaknya dia memang menuju pasar. 

Ya Tuhan, aku sekarang benar-benar seperti seorang penguntit, batin Lyra. Ia sendiri sebenarnya geli terhadap dirinya sendiri yang mengikuti seorang pemuda diam-diam seperti ini. Seharusnya Lyra bisa mengajaknya bicara secara normal lalu berteman, seperti anak muda pada umumnya. Tetapi, tidak.  

Dari pinggir pusat perdagangan, Lyra bisa melihat pemuda itu memberi botol susu kepada para pedagang di kios-kios. Namanya Fachri Blanchet. Fachri kembali mengayuh sepedanya. Kali ini dia membagikan botol susu ke rumah-rumah yang berada di dekat sana. Sudah menjadi hal lumrah untuk anak-anak muda di Deanville menjadi seorang tukang antar dan semacamnya. Di desa Lyra, hampir semua orang tua memiliki tanah dan usaha sendiri. Seperti Quentin yang memiliki kebun, dan keluarga Fachri yang memiliki lumbung. Sedangkan Lyra dan Fachri, sebagai anak, bertugas untuk mendistribusikan hasil usaha keluarga mereka untuk dijual atau ditukar dengan barang-barang lain. 

Fachri kembali ke sepedanya, kotak-kotak botol susunya kosong. Ia menghitung lembaran uang di tangannya sebelum memasukkannya ke dalam saku rompi. Lyra tahu ayahnya terkadang membeli keju dari lumbung milik keluarga Fachri. Tetapi itu sangat jarang terjadi. Mengingat Quentin lebih senang mengonsumsi hasil bumi dan panennya sendiri.  

Fachri memutar sepedanya, ia mulai mengayuh pedal meninggalkan wilayah pasar. Lyra bisa melihat pemuda itu menuju ke arahnya, yang membuat gadis itu buru-buru berbalik ke salah satu kios bunga terdekat, pura-pura sedang melihat-lihat. Lyra merapatkan tubuhnya di balik tembok bata. Fachri melintas di jalan di belakangnya. 

Setelah pemuda itu lewat, Lyra melongokkan wajahnya. 

Seorang wanita muncul dari dalam kios. “Oh, selamat sore, sayang.” Ia menyapa Lyra dengan suara bariton. Wanita itu memakai riasan tebal di wajahnya, yang menurut Lyra adalah pedagang bunga di kios ini. “Apa kau akan membeli bunga itu?” tanyanya, bulu matanya terlihat sangat lentik dan lebat.  

Lyra buru-buru mengembalikan setangkai bunga yang dipegangnya ke dalam keranjang. “Ah, tidak,” jawabnya canggung. “Sampai jumpa.” Ia langsung mengambil langkah seribu.

***


Malamnya Quentin memasak sup tomat.  

Quentin menarik kursi kayu dan duduk di meja makan. Ia mengelap tangannya dengan serbet bersih. “Aku tidak tahu kenapa kita harus membuat sup tomat untuk makan malam.” Ia mengambil sendok di sebelah mangkuknya. “Padahal salad bayam dengan kacang dan roti sudah nikmat dan sehat.”  

Lyra mengambil satu roti tawar yang telah dipanggang dari piring di tengah meja. “Kita harus memasak sesuatu yang berbeda dari menu makanan yang biasanya, paling tidak seminggu sekali.” Ia merobek roti dan mencelupkannya ke dalam sup, lalu menggigitnya. “Hm! Enak sekali. Aku benar-benar sudah lama tidak makan sup tomat,” gumam Lyra. Ia mengambil sendok dan mulai menyantap makan malamnya. 

Quentin juga ikut menyantap makanannya. “Sup tomat agak sedikit lebih rumit dibuat.” Ia menyendokkan sup ke dalam mulutnya. Dari ekspresi wajah pria itu, ia juga menyetujui bahwa sup ini enak. “Aku lebih senang membuat yang mudah-mudah.”  

“Bagaimana setiap hari Senin kita makan malam dengan sesuatu yang berbeda?” usul Lyra, tubuhnya tercondong ke depan meja. “Seperti bistik? Untuk minggu depan bagaimana kalau kita makan bistik?" 

“Bistik?” ulang Quentin sambil mengelap mulutnya dengan serbet. Keningnya berkerut. “Kita jarang sekali makan daging.” 

“Aku bisa mendapatkannya di pasar.” Lyra mengedikkan bahu. “Atau di salah satu lumbung milik penduduk. Biasanya kalau kita beli langsung dari pemasok akan lebih murah dan dapat lebih banyak.” 

Sembari menyendok supnya, Quentin bertanya. “Sejak kapan kau ingin bereksperimen rasa dengan berbagai makanan?”  

Lihat selengkapnya